Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Bawaslu Affifuddin mengingatkan agar penyandang disabilitas harus didata agar bisa memilih pada Pemilu 2019. Terlebih, jika mereka sudah mempunyai KTP.
"Intinya begini ini soal pendataannya, tidak boleh mereka itu tidak didata, sepanjang mereka WNI sudah 17 tahun lebih maka mereka didata dulu. Kalau ada keputusan dokter yang mereka dianggap disabilitas berat, itu dia hilang tidak bisa menggunakan hak pilih," kata Afif, Jakarta, Rabu 21Â November 2018.
Menurut dia, tidak akan ada masalah jika penyandang disabilitas ikut Pemilu 2019. Karena, mereka pasti akan dibimbing oleh pendamping pada saat pencoblosan berlangsung nanti.
Advertisement
"Tapi kalau mereka bisa didampingi, temen-temen grahita kan bisa didampingi, itu juga faktanya dulu ada pihak-pihak yang mendampingi segala macam. Jadi jangan sampai orang di-exclude duluan sebelum dimasukkan data, tapi orang ini dimasukkan dulu baru dikeluarkan. Jadi bukan ditafsirkan berat dulu," ujar Afif.
Dia pun menjelaskan, KPU harus mendata terlebih dahulu terhadap seluruh penyandang disabilitas atau difabel. Karena tidak semua para disabilitas tak diperbolehkan untuk memilih, tapi jika hanya disabilitas saja bisa untuk ikut memilih.
"Undang-undang dan putusan MK 135 itu, ini dianggap berpotensi menghilangkan hak konstitusional warga. Jadi yang sekarang jadi domain KPU mendata mereka. Berat atau tidak bukan domain KPU. Itu nanti saat pemilihan tidak bisa menggunakan hak pilih karena dianggap berat. Tapi mereka yang ringan-ringan boleh," jelasnya.
"Tapi kalau yang ringan di data saja tidak ada, ini repot. Kejadian kemarin di pilkada, dicek ke KPU Jabar atau Kota Bekasi, ada 400 pemilih di panti dimasukkan ke saya, saya lapor KPU RI KPU provinsi, intinya kemudian sikap KPUnya diberi keterangan 400 orang ini berat," sambung Afif.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sudah Diputus MK
Afif pun mengungkapkan, dalam hal ini juga sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yang harus bisa menyelamatkan hak pilih masyarakat pada pemilu nanti.
"Ini kan penghilangan sistematis, jangan sampai, asumsi kami juga tidak semuanya berat. Ini juga menyesuaikan dengan keputusan MK yang orientasi utamanya menyelamatkan hak pilih dan menghilangkan potensi orang hilang hak pilih karena pendataan," ujar Afif.
Untuk bisa mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh adalah dokter spesialis disabilitas atau ahli dalam kejiwaan. "Itu nanti dokter spesialis, untuk mengukur berat tidaknya itu tentu di pihak dokter yang dinilai mampu dan punya keahlian kejiwaan," ucapnya.
"Kami juga diskusi panjang lebar dengan aktivis kesehatan mental. Jadi orientasinya adalah menyelamatkan potensi kehilangan hak pilih karena teknis pendataan," tambahnya.
Untuk jumlah disabilitas di Tanah Air, ada lebih dari 5.000 orang. Namun, tidak semua bisa mencoblos meskipun mereka itu mempunyai hak pilih nanti pada saat Pemilu 2019.
"Kedua disabilitas itu kan tidak hanya mental, yang lain juga semakin terfasilitasi, yang netra semakin baik lah ada namanya braile template. Orientasi di pelatihan penyelenggara juga ada mainstream disabilitas isu keberpihakan dalam pemilihan tps yang mudah dijangkau, tidak ada bebatuan atau rerumputuan yang menyulitkan, kalau ini sudah menjadi pandangan penyelenggara ini akan memudahkan semua orang," kata Afif.
Reporter: Nur Habibie
Advertisement