Sukses

Hemat Biaya, Ketua DPR Usulkan Pemilu Pakai Sistem Digital

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memaparkan sejumlah hal agar biaya Pemilu bisa lebih hemat.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memaparkan sejumlah hal agar biaya Pemilu bisa lebih hemat. Pertama, melakukan integrasi pendataan Pemilu.

"Soal intergrasi pendataan pemilu. Kadang dana besar digelontorkan untuk pendataan. Malah baru kemarin di data, tapi didata lagi. Ini tipis membedakan antara kepentingan kebutuhan dengan proyek. Jadi kita 3 kali pilkada, 3 kali pendataan lagi. Besok nih mau pemilu, pendataan lagi," kata Bambang di gedung Perintis, Jakarta Pusat, Minggu (25/11/2018).

Padahal, menurut pria yang karib disapa Bamsoet ini, data seluruhnya cenderung sama. Paling tidak cuma beberapa data yang bergeser, itu juga hanya mencukupi pemilih berusia 17 tahun.

Namun saat ini cara pendataan dilakukan menyeluruh, sehingga biaya semakin membengkak. Hal ini mesti menjadi perhatian para penyelenggara pemilu, termasuk pemerintah dan DPR dalam menetapkan anggaran.

"Jadi kalau itu bisa dihindari maka kita bisa menghemat Rp 600 miliar hingga Rp 900 miliar, hampir Rp 1 triliun bisa kita hemat kalau metode pendataan ini bisa kita rapihkan dengan baik, kita digitalisasi dengan baik di semua tingkatan sehingga efisiensi paling tidak 90 persen dalam penyelenggaraan pemilu," tuturnya.

Cara kedua, lanjut dia, adalah penyelenggaraan Pemilu harus berani memasuki sistem elektronik untuk rekapitulasi, dengan mengaplikasikan e-rekapitulasi. Alias pemungutan dan penghitungan suara melalui teknologi.

Selama ini, Bamsoet melihat, rekapitulasi dilakukan secara manual dan berjenjang di tempat pemungutan suara atau TPS tingkat provinsi, dan itu memakan waktu dan biaya yang sangat besar.

"Jadi jika dilakukan dengan e-rekapitulasi maka kita dapat diperkirakan kita akan menghemat waktu hingga 30 hari dan biaya yang lumayan besar dengan penghematan yang kita lakukan melalui teknologi yang makin maju kita sudah masuk evolusi 4.0 sehingga kita harus berani melakukan hal hal sesuai dengan kemajuan jamannya," paparnya.

Dia menambahkan, e-rekapitulasi bisa dilakukan dengan memindai formulir C1, yakni formulir yang berisi dari hasil dan rincian perhitungan proyek suara di TPS  dipindai. Kemudian dikirim format nya dan discan sehingga mudah terbaca. Sehingga dengan adanya e-rekapitulasi, penyelenggaraan Pemilu sudah masuk pada sistem elektronik atau digitalisasi.

"Nanti dengan demikian pengiriman tidak perlu lagi memakai pengawalan yang begitu ketat, sampai satuan Brimob yang banyak dari desa ke desa lain, cukup dengan ketuk/pencet sampai pusat. Itu lebih murah tidak perlu menjaga kotak suara dikapal dikawal kapal perang menyeberangi pulau, kan begitu cerita drama drama selebrasi nya setiap pemilu, pasti ada yang begitu," tuturnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

E-Voting

Dengan sistem digital juga bisa menghindari adanya kecurangan langsung, kecurangan membakar kotak suara atau menghilangkan kotak suara. Pasalnya, Bamsoet menilai semua saksi di TPS hanya menyetujui. Namun saat suara di pindai dari kotak suara, potensi kecurangan masih tetap ada. Bamsoet ingin ada cara pencegahan, supaya semua suara aman dan tidak dicuri.

"Kita bisa belajar dari keberhasilan KPU Yogyakarta yang menghemat anggaran pilkada 30%. Caranya dengan menggunakan e-katalog untuk pemberian barang dan jasa, ini sebagai contoh saja. Bagaiman yogyakarta telah berani menggunakan kemajuan teknologi untuk meringankan tugas tugasnya," ucap Bamsoet.

Dirinya juga mendorong KPU supaya efisien dalam menggunakan anggaran. Yakni anggaran dalam pengadaan logistik melalui katalog bilik maupun kotak suara.

"Jadi banyak hal hal yang bisa dihemat dari penggunaan penggunaan elektronik atau digitalisasi. Begitu juga ketika KPU sedang menyiapkan penyediaan bilik suara melalui e-katalog dapat menghemat Rp 59 miliar atau penghematan 30 persen," lanjutnya.

Selain itu, Politikus Golkar ini juga menyarankan adanya e-voting. Yakni pencoblosan bisa dilakukan lewat elektronik dan meninggalkan model lama dengan datang ke TPS.

"Sehingga tidak diperlukan lagi kotak suara, tidak diperlukan lagi tinta, tidak diperlukan lagi nanti bilik suara yang begitu complicated. Cukup dengan memasukan nomor KTP maka bisa dihindarkan juga penggandaan KTP," ucapnya.

Kedepan, kata dia, bakal ada pemilihan 415 kepala daerah Bupati dan Wali kota, serta 34 gubernur yang akan dilakukan secara serentak sesuai dengan rencana pemerintah pada tahun 2024. Jika sistem pemilihan masih pakai gaya lama, kata Bamsoet, biaya yang dikeluarkan negara terhadap penyelenggaraan Pilkada serentak akan sangat besar.

"Karena sekarang saja sudah melibatkan begitu banyak orang, begitu banyak biaya yang besar tapi masih menimbulkan konflik dan gugatan gugatan sengketa pilkada," ucapnya.

Tak hanya itu, Pemilu 2019 pun melibatkan jutaan saksi yang terdaftar dalam Bawaslu. Kemudian ribuan  tenaga KPUD sampai ke TPS-TPS. Pemilu tersebut akan memakan biaya yang sangat luar biasa besar. Para calon, kata dia, juga harus mengeluarkan biaya. Sehingga tergiring dan terpaksa untuk melakukan politik uang.

"Mau tidak mau dia harus bertahan untuk memenangi pertarungan menggunakan strategi cara cara yang tidak bagus sebetulnya yaitu money politics," ucapnya.

"Tapi memang masyarakat kita, karena sudah berkali kali menghadapi hal seperti ini selalu kepada kita ditanya NPWP, 'Nomor Piro Wani Piro'. Malah kemarin saya waktu reses ke daerah, dia bilang 'Pak bisa gak UU dirubah pilkada setiap bulan sekali?' Ya rupanya kalau setiap bulan sekali ada harapan uang mengalir ke dapur RT mereka," cerita Bamsoet.

 

3 dari 3 halaman

Antara Cost Politics dan Money Politics

Bamsoet juga masih dilema membedakan antara biaya politik dan politik uang. Dia menjelaskan, misalnya ketika paslon mengundang rakyat kecil untuk sosialisasi dalam satu acara. Warga tersebut otomatis bakal melepas pekerjaan hariannya yang biasa menghasilkan 100 ribu per hari.

"Kalau ikut acara kita, apakah itu sosialisasi apakah itu rapat Akbar dia akan kehilangan pendapatan hariannya 100 ribu. Nah kita dengan kesadaran dan tanggung jawab memberikan uang 100 ribu kepada mereka, tapi bahwa Bawaslu bilang itu pelanggaran pemilu. Itu juga sebab confused juga. Jadi karena tidak bisa dibedakan mana cost politics dan mana money politics," paparnya.

"Kalau menurut saya kalau begitu adalah cost politik yang dibenarkan oleh undang-undang. Dibenarkan oleh undang-undang. Sementara kalau money politics itu yang tidak boleh," sambungnya.

Yang pasti kedepan, negara harus berani memulai pemilu tanpa kertas suara, tanpa tinta dan dimulai dari handphone atau media elektronik. Dia melihat, masyarakat Indonesia rata rata sudah mempunyai handphone dan melek teknologi.

"Dulu 20 tahun yang lalu, kalau saya ke luar negeri saya lihat kondektur atau supir bus pake HP itu waduh hebat banget ya. Sementara dikita masih barang mewah. Nah sekarang kita lihat di desa desa anak anak kita sambil ngangon kebo main HP. Sambil naik kebo megang HP. Jadi begitulah bukan barang mewah lagi, sehingga kita sudah bisa melakukan pemilihan atau Pemilu melalui Hp ini," Bambang memungkasi. 

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com