Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menyatakan, kepemilikan e-KTP sebagai syarat utama memilih dalam Pemilu 2019 sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 (UU Pemilu) adalah inkonstitusional bersyarat.
"Menyatakan frasa 'kartu tanda penduduk elektronik' dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (28/3/2019) seperti dilansir Antara.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Aturan tersebut dinyatakan mahkamah sebagai inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Termasuk pula surat keterangan (suket) perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu."
Advertisement
Pada pertimbangan mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, mahkamah menjelaskan, hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara sehingga tidak boleh dibatasi, disimpangi, ditiadakan, dan dihapus.
Mahkamah menimbang keberadaan KTP, paspor, atau identitas lain untuk menggunakan hak memilih adalah solusi terhadap masalah tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT Pemilu 2019, sehingga pada saat yang bersamaan penggunaan identitas tersebut menjadi cara lain untuk menyelamatkan hak memilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tetap Disertai Syarat Ketat
Meskipun Mahkamah membuka ruang digunakannya KTP untuk memilih, namun tetap dengan persyaratan yang ketat seperti harus disertai dengan kartu keluarga, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, dan mendaftarkan diri kepada KPPS yang dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara.
"Dengan syarat-syarat dimaksud Mahkamah tetap memosisikan bahwa akuntabilitas setiap pemilih yang memberikan suara dalam pemilu tetap harus dijaga," tambah Saldi.
Artinya segala peluang terjadinya kecurangan akibat longgarnya syarat bagi seseorang untuk dapat menggunakan hak memilihnya harus ditutupi, sehingga tidak mengabaikan aspek kehati-hatian terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan yang dapat mengganggu terlaksananya pemilu.
Kendati demikian mahkamah tetap pada keyakinan bahwa syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP-el sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan.
Namun bila KTP-el tersebut belum dimiliki, sementara yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP-el diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP-el.
"Sehubungan dengan pertimbangan hukum tersebut, penting bagi Mahkamah mengingatkan pemerintah untuk mempercepat proses perekaman KTP-el bagi warga negara yang belum melakukan perekaman, lebih-lebih yang telah memiliki hak pilih, agar dapat direalisasikan sebelum hari pemungutan suara," ujar Saldi.
Advertisement