Sukses

Elektabilitas Capres Dinilai Tak Berubah Drastis Jelang Pencoblosan, Mengapa?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dinamika ini, baik dari sisi suara atau dari sisi elektabilitas di hari-hari jelang pencoblosan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemilu Serentak 2019 tinggal sepekan lagi. Sisa tujuh hari jelang pemungutan suara dianggap sebagai hari-hari yang paling menentukan kemenangan pasangan calon presiden.

Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengatakan, elektabilitas masing-masing paslon Pilpres 2019 tidak akan berubah drastis. Sisa hari sebelum pencoblosan tidak akan terlalu mempengaruhi perubahan elektabilitas keduanya.

"Tapi kalau secara normalnya sebetulnya tidak lagi menentukan di 8 hari menjelang pemilu," papar Adjie dalam diskusi publik yang dilaksanakan di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2019).

Menurutnya, elektabilitas masing-masing calon akan cenderung sama, sebab selisihnya terpaut jauh. Selisihnya mencapai satu digit, bahkan hampir rata-rata semua lembaga survei berada di atas 15 persen.

Adjie mengatakan, ada beberapa faktor yang mungkin saja mempengaruhi terjadinya dinamika dari sisi suara atau dari sisi elektabilitas di hari-hari jelang pencoblosan. Beberapa faktor itu misalnya pelaksanaan debat kelima ataupun kampanye terbuka yang dilakukan masing-masing paslon.

"Mungkin teman-teman semua sering kali membaca atau mendengar berbagai macam analisa yang mengatakan bahwa memang debat kandidat ini adalah salah satu tipe kampanye yang menyedot perhatian publik yang luas. Karena kurang lebih sekitar 50 atau 60 persen pemilih kita yang menyaksikan debat kandidat," paparnya.

Meski begitu, pelaksanaan debat tidak akan terlalu berpengaruh pada elektabilitas maupun perolehan suara. Persoalannya mayoritas penonton debat kandidat adalah mereka yang sudah punya pilihan capres. Hanya sekitar 10 persen saja penonton atau pemilih (undecided voters) yang belum memiliki preferensi terhadap capres yang akan dipilih.

Apalagi 10 persen undecided voters itu tidak sepenuhnya menentukan pilihan berdasarkan hasil debat saja. Mereka akan menggabungkan berbagai aspek dan pertimbangan yang logis dalam memilih calon pemimpin negara.

"Jadi 10 persen ini pun biasanya merupakan pemilih yang cenderung lebih rasional. Jadi mereka menilai, memilih salah satu kandidat bukan hanya dari nonton debat kandidat," ujar Adjie.

Selain debat, kampanye akbar yang dilakukan Paslon 02 misalnya, kegiatan itu sangat menyita perhatian publik. Namun, tambah Adjie, mereka yang datang dalam event-event kampanye Pilpres 2019 memang merupakan pendukung pasangan calon.

Sehingga, jumlah kehadiran massa dalam kampanye tersebut tidak akan mempengaruhi elektabilitas calon tersebut. Dia juga menyatakan hal yang sama bagi Paslon 01.

"Jadi kita melihat nanti pun kampanye Pak Jokowi tanggal 13 itu juga sama. Bahwa mereka yang hadir umumnya memilih Pak Jokowi. Jadi saya melihat sebetulnya tidak terlalu signifikan," tandas Ajie.

 

2 dari 2 halaman

Potensi Golput

Pertarungan kedua calon dalam kondisi "head to head" memberi pengaruh dalam Pemilu 2019 ini. Terutama bagi masyarakat yang lebih memilih golput dan enggan menggunakan hak suaranya.

Adjie menyebutkan, data pemilih golput pasca orde baru yakni pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Tahun 2004 dan 2009 masing-masing pemilih golput di antara kurang lebih 23-25 persen. Sementara tahun 2014, angka golput mencapai sekitar 30 persen. Alasan masyarakat memilih golput dipengaruhi jumlah kandidat calon presiden pada tahun pemilihan.

"Tapi kita melihat bahwa jumlah kontestan kita memang berpengaruh pada partisipasi. Ketika 2014 hanya diikuti oleh 2 calon, itu golputnya 30%. Tapi ketika 2004, 2009 diikuti lebih dari dua calon, jumlah pemilih, orang yang berpartisipasi makin banyak," ucapnya.

Jumlah kandidat nyatanya berdampak bagi angka golput. Semakin sedikit jumlah kandidat, maka angka golput akan semakin tinggi. Sebab pilihan yang ditawarkan terbatas.

"Karena memang pemilih diberikan lebih banyak alternatif, itu yang pertama. Dan yang kedua adalah dengan jumlah kontestan lebih dari dua, maka penetrasi maupun kegiatan kampanye terlihat lebih masif, sehingga mayoritas pemilih jadi akan lebih tertuju oleh kegiatan kampanye," kata Adjie.

Strategi Paslon

Jumlah elektabiliats yang tidak akan berubah secara signifikan tentunya merugikan calon tertentu. Untuk itu diperlukan strategi dalam mengisi sisa masa kampanye.

Tersisa kurang dari seminggu, menurut Adjie ada dua strategi yang berbeda antara petahana dan penantang.

Bagi calon petahana dengan jumlah dukungan di atas 50 persen saat ini tentunya sudah cukup untuk memenagkan pemilu. Namun perolehan suara tidak hanya berhenti di situ saja.

Menurut Adjie, kubu 01 masih harus berjuang untuk menarik minat masyarakat agar turut berpartisipasi memberikan suaranya di TPS.

"Pastinya bagi petahana dukungan saat ini sebetulnya sangat cukup untuk memenangi pertaruhan. Tekadnya adalah bagaimana kemudian petahana ini mampu memobilisasi pemilihnya datang ke TPS," paparnya.

Lain halnya dengan strategi bagi penantang. Meskipun sebanyak 10 persen undecided voters akhirnya mendukung 02, hal itu tidak cukup untuk memenangi pertaruhan.

Menurut Adjie, dalam situasi seperti ini upaya yang harus dilakukan bukan hanya merebut undecied voters. Tetapi kemudian bagaimana melemahkan jumlah pendukung dari seorang petahana. Namun strategi tersebut dinilainya sudah terlambat.

Dalam melamahkan jumlah pendukung 01, Kubu Prabowo seharusnya menciptakan kondisi bahwa masyarakat atau pemilih membutuhkan perubahan. Secara tidak langsung menggaet masyarakat yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Jokowi.

Namun situasi itu belum terbentuk dan sudah sangat terlambat untuk membentuknya. Adjie menilai bahwa calon petahana saat ini masih cukup kuat untuk memenangkan pertaruhan.

"Saya lihat mengapa petahana atau Pak Jokowi masih cukup kuat dengan elektabiliats yang 56 persen, ini masalah dan faktornya adalah kuat di beberapa isu-isu yang sensitif termasuk isu-isu ekonomi," Adjie memungkasi.

Reporter: Dewi Larasati

Video Terkini