Liputan6.com, Jakarta - Kisruh hasil perhitungan cepat (quick count) Pilpres 2014 versi lembaga survei masih terus disorot. Perbedaan hasil quick count 12 lembaga survei yang memenangkan 2 capres berbeda dinilai aneh.
Akademisi dari UI Ade Armando mengatakan, ada 8 lembaga survei --LSI, SMRC, Populi Center, Kompas, RRI, CSIS-Cyrus Network, Indikator, dan Pol-Tracking-- yang memenangkan Jokowi-JK dan 4--LSN, JSI, Puskaptis, dan IRC-- lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta. Bagi Ade, kubu 8 lembaga survei yang memenangkan Jokowi-JK merupakan lembaga yang dapat dipercayai masyarakat.
"Yang pertama metodologi dan kedua itu track record. Kubu 8 sudah terbukti pada pileg kemarin selisihnya 0,1 persen. Saya percaya kubu 8," ucap Ade di kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Selasa (15/7/2014).
Sementara itu, pakar statistik dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Asep Saefuddin, menyoroti soal lembaga survei yang berafiliasi dengan pendukung capres tertentu. Karena jika tak benar-benar independen, hasil perhitungan lembaga survei dikhawatirkan bakal terjadi bias.
"Dalam statistika, untuk penarikan contoh yang sifatnya negara harus bebas nilai atau independen. Kalau dia bagian institusi sendiri dia harus mau jelaskan hasil quick count diumumkan yang sebenarnya," terang Asep.
"Jangan sampai menutupi. Sebaiknya kelembagaan yang terkait dengan suatu kelompok tertentu yang jadi bagian Pemilu ada kemungkinan bias dan ada titipan," tambahnya.
Asep menerangkan, beberapa kali riset yang dilakukan selama menggunakan metodologi dan pengambilan sampel random yang benar, maka seharusnya hasilnya akan sama. Bila berbeda, hanya akan sedikit perbedaan yang terjadi.
"Secara teori kalau hal itu dipegang maka tidak banyak beda, dan kalau beda masih dalam margin of error 1 persen atau kurang dari 5 persen, karena tingkat metodologi yang terbukti," ungkapnya.
Meski demikian, dari 2 kubu yang ada, Asep belum bisa memutuskan pihak mana yang benar. Sebab, sebagai akademisi perlu memutus berdasar fakta yang ada. Asep juga menganjurkan 2 hal bagi masyarakat memberikan penilaian.
"Dilihat track record serta kompetensi dan SDM-nya. Kalau 2 ribu sampel maka 2 ribu tenaga di lapangan yang harus menyebar di Indonesia untuk memenuhi syarat keteracakan. Kami tak bisa mengatakan yang benar A atau B. Uji kredibilitas kelembagaan mudah sekali, dilihat dari metotodologi dan sebaran contoh," jelas Asep. (Yus)
Advertisement