Sukses

Ini Alasan Quick Count Masih Dibutuhkan

Philips berharap quick count tidak ditiadakan. Tapi KPU harus memperketat verifikasi pada lembaga survei agar polemik ini tak terulang.

Liputan6.com, Jakarta - Quick count atau hitung cepat yang dirilis lembaga survei pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres 9 Juli lalu berbuah ketidakpercayaan publik, karena memiliki hasil berbeda-beda. Tak menutup kemungkinan masyarakat akan meninggalkan quick count.

Namun, pengamat politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte mengatakan, ada sejumlah alasan quick count masih dibutuhkan pada Pemilu.

"Ada demand (permintaan) dari politisi untuk tahu hasil lebih awal. Bisa jantungan kalau tunggu lama-lama, sampai 4 minggu setelah pencoblosan," ujar Philips, Jakarta, Selasa (15/7/2014).

Alasan kedua, lanjut Philips, quick count bisa jadi pembanding hasil penghitungan suara real count Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di luar negeri, bukti kecurangan masif bisa ditanggulangi dari hasil quick count.

Donatur Tidak Penting

Selain itu, menurut Philips, quick count tetap dibutuhkan meski banyak yang meragukan kredibilitas lembaga survei. Siapa pun yang mendanai lembaga survei tidak penting untuk diketahui.

"Soal yang mendanai, menurut saya nggak penting, yang penting itu hasilnya tidak jauh beda dengan KPU. Kredibilitas hanya bisa dicek melalui hasilnya. Kalau hasilnya jauh dari KPU, boleh dicurigai. Faktor pendana tak penting," ungkapnya.

Philips berharap quick count tidak ditiadakan. Namun KPU harus memperketat verifikasi pada lembaga survei, agar polemik seperti ini tak terjadi lagi. Jika saat ini semua lembaga survei dapat mendaftar ke KPU, maka ke depan harus ada prosedur yang lebih ketat.

"Ada perbaikan yang harus dilakukan KPU. Semua boleh daftar ke KPU untuk quick count. Itu harus dipertahankan tapi perlu verifikasi lebih ketat. Yang bisa itu yang disertifikasi KPU. Kontrol lembaga survei itu gampang diawasi, saat dia sampaikan ke publik, dia harus tampilkan juga raw (mentah) datanya," tegasnya.

Cukup mudah bagi KPU mengatur lembaga survei, misalnya lembaga survei harus memberikan data mentahnya, sehingga mudah dikontrol.

"Cukup keluarkan aturan yang rilis survei di publik harus buka raw data, nanti semua bisa kontrol. Partai yang keberatan bisa cek sendiri, ahli statistik bisa pantau," pungkas Philips.

Hasil quick count atau hitung cepat Pilpres 9 Juli lalu, masing-masing pasangan capres dan cawapres mengklaim kemenangan. Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mendeklarasikan kemenangan meski hasil real count dari KPU baru akan keluar 22 Juli mendatang.

Baca juga:

RRI Diminta Tak Buka Substansi Quick Count ke DPR

Anies Baswedan: Harus Ada Sanksi buat Lembaga Survei Bermasalah

Akademisi Minta Lembaga Survei Buka-bukaan