Liputan6.com, Jakarta Ramadan datang, tapi tak seperti biasanya. Di Inggris, Ramadan kali ini sunyi. Masjid-masjid yang biasanya penuh dengan kegiatan, kini menutup pintu rapat-rapat. Kegiataan keagamaan hanya dilakukan secara virtual.
Rilda Aprisanti Oelangan Taneko, penulis novel Anomie, mengatakan kepada Liputan6.com bahwa Ramadan tahun ini sangat berbeda dengan Ramadan sebelumnya. Rilda tinggal di utara Inggris, dekat dengan Manchester.
Baca Juga
"Tahun ini tidak ada salat berjemaah. Semua masjid dan rumah ibadah agama lain ditutup. Ada aturan untuk tidak saling mengunjungi, bahkan dengan orangtua dan saudara sendiri," ucap Rilda melalui FB Messenger.
Advertisement
Di Inggris, masyarakat hanya boleh berinteraksi dengan orang-orang yang tinggal satu rumah.
Orang-orang dilarang untuk berkerumun. Jika aturan ini dilanggar, polisi akan memberi hukuman.
Ramadan kali ini di Inggris jatuh pada musim semi, sehingga waktu puasa lumayan panjang. Rilda menjelaskan, puasa dimulai pada pukul 03.30 hingga 08.40, atau kira-kira mencapai 17 jam.
Â
Â
Saksikan video menarik di bawah ini
Masjid-Masjid Ditutup
Inggris sendiri telah menetapkan lockdown atau karantina wilayah sejak 23 Maret 2020. Dengan demikian, hampir semua orang di rumah saja, kecuali pekerja sektor vital. Masyarakat hanya boleh keluar rumah untuk hal-hal penting seperti membeli obat-obatan, makanan dan kebutuhan pokok, olahraga, dan mengurus orang yang memerlukan.
Menurut wanita asal Lampung ini, tahun ini memang kesan sunyi sangat terasa saat menjalani Ramadan. Rilda sudah 11 tahun tinggal di Inggris, setelah sebelumnya menyelesaikan studi master di Belanda, tepatnya di Institute of Social Studies of Erasmus University.
"Karena masjid ditutup, maka tidak ada salat tarawih berjemaah dan buka puasa bersama. Semua beribadah di rumah masing-masing. Namun, banyak masjid yang sekarang menggalang bantuan makanan untuk mereka yang membutuhkan, bisa berupa makanan tahan lama atau transfer uang," ucap Rilda menjelaskan.
Salah satunya Green Lane Mosque in Small Heath, Birmingham, yang mengerahkan volunteer untuk membuat APD atau alat pelindung diri dan menyalurkan makanan. Selain itu, menurut Rilda, British Muslim Council juga mengatur volunteer dan bantuan.
Â
Advertisement
Rutinitas Sehari-hari
Rilda tinggal di Lancester bersama suaminya yang seorang dosen di Lancester University dan anaknya. Sehari-hari ia melakukan rutinitas seperti biasa.
"Kami rutinitas biasa. Bangun sahur jam 3, habis salat Subuh, tidur lagi sampai jam 7-an. Lalu salat Dhuha. Selepas itu anak sekolah mulai jam 09.00 s.d jam 15.00. Suami kerja di rumah sampai sore," katanya.
Rilda sendiri mengisi waktu senggangnya dengan banyak menulis. Ia pernah mendapatkan penghargaan Krakatau Literary Award pada 2018. Kadang-kadang di sore hari Rilda keluar bersama keluarga, sekitar satu jam untuk berolahraga.
Jika sebelum pandemi Rilda biasa berbelanja mingguan, kini ia menguranginya, hingga hanya berbelanja dua minggu sekali untuk mengurangi ke luar rumah. Antrean di supermarket juga sangat panjang karena supermarket menerapkan social distancing. Orang di dalam dan di luar supermarket dibatasi. Setiap orang harus menjaga jarak sejauh 2 meter satu sama lain.
"Namun, tahun ini aku tidak bisa dapat cincau dan kolang-kaling. Persediaannya di toko Asia kosong," ujar Rilda.
Sampai kemarin (29/04) tercatat sudah ada 26. 097 korban meninggal dunia di Inggris. Inggris diprediksi menjadi negara dengan angka kematian tertinggi akibat Corona Covid-19 di Eropa.
Rilda berharap, semoga pandemi ini bisa lekas berakhir tanpa perlu menambah banyak korban lagi. Ia pun mengharapkan semua bisa bertambah kuat dan sabar menghadapi kehidupan.
"Juga semoga kita semua bisa jadi lebih baik dan bijak dalam berinteraksi dengan alam," katanya mengakhiri.