Sukses

Ini 5 Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Umat islam yang menjalankan puasa Syawal tetap mendapatkan keutamaan seakan puasa wajib setahun penuh.

Liputan6.com, Jakarta - Usai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan merayakan Hari Raya Idul Fitri, umat islam disunahkan kembali menjalankan puasa di bulan Syawal. Puasa ini disunahkan untuk dilakukan sebanyak enam hari.

Umat islam dianjurkan untuk melakukan puasa sunah tersebut pada enam hari persis setelah Hari Raya Idul Fitri, yaitu tepat tanggal 2-7 Syawal. Meski begitu, tak menjadi masalah jika puasa sunah itu dilakukan secara tak berurutan di luar tanggal tersebut.

Umat islam yang menjalankan puasa Syawal tetap mendapatkan keutamaan seakan puasa wajib setahun penuh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya"

"Siapa saja yang berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun."

Bahkan umat islam yang melaksanakan qadha puasa atau menuaikan nadzar puasa di bulan Syawal juga akan mendapat keutamaan seperti mereka yang melakukan puasa sunah Syawal. Hal ini diterangkan Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya, Hasyiyatul Baijuri ‘ala Syarhil Allamah Ibni Qasim Juz 1.

Menurut Tajun Nashir, Lc yang dikutip dari Rumah Fiqih Indonesia, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum melaksanakan puasa syawal ini :

1. Sunah

Ini adalah pendapat dari mayoritas ulama mzhab Maliki, Syafi’i dan Habali. Para ulama muta’akhir al-Hanafiyyah juga berpendapat demikian. Dalil yang dipakai sebagai landasan pendapat mereka adalah hadits shahih berikut ini:

روى أبو أيوب - رضي الله تعالى عنه - قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : من صام رمضان ، ثم أتبعه ستا من شوال ، كان كصيام الدهر

Diriwayatkan oleh Abu Ayyub -radhiyallahu anhu- dia berkata, Nabi -shallahu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti (puasa) 6 hari di bulan Syawwal , maka (pahalanya) seperti berpuasa satu tahun.” (HR. Muslim 2/822)

2. Makruh

Ulama yang berpendapat ini pun terbagi menjadi dua pendapat :

a. Makruh secara mutlak

Pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah, maksudnya baik puasa ini dilakukan secara berturut-turut maupun secara terpisah. Namun pendapat para ulama madzhab Hanafi ternyata berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal ini.

Seperti diriwayatkan dari Abu Yusuf berkata, “Yang makruh adalah ketika dilakukan secara berturut-turut dan bukan terpisah.” Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan pada pendapat pertama- mayoritas ulama muta’akkhir dari madzhab Hanafi justru berpendapat bahwa puasa ini hukumnya tidak apa-apa dikerjakan.

Ibnu Abidin berkata (menukil dari pengarang kitab Al-Hidayah) dalam kitabnya At-Tajnis, “Pendapat yang terpilih adalah bahwasanya hukum (puasa syawwal) itu tidak apa-apa dilakukan. Dahulu hukum puasa ini makruh karena khawatir ada yang menganggap puasa ini merupakan bagian dari Ramadhan, sehingga hal tersebut menyerupai orang-orang Nashrani, namun sekarang kerancuan tersebut sudah tidak ada lagi.”

Imam Al-Kâsâniy juga berpendapat bahwa hukum puasa ini menjadi makruh jika tata caranya sebagai berikut : Berpuasa pada hari Idul Fitri (1 syawal) kemudian dilanjutkan dengan lima hari sesudahnya. Adapun jika pada hari Idul Fitri tidak berpuasa kemudian berpuasa 6 hari setelahnya, maka hukumnya sudah tidak makruh lagi, melainkan menjadi mustahab atau sunah. 

b. Makruh dengan beberapa ketentuan. Pendapat ini adalah pendapat dari madzhab Maliki dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Bagi orang yang menganggap wajib atau ditakutkan dia akan menganggapnya wajib jika dia berpuasa. b. Bagi orang yang menyambungnya langsung setelah puasa Ramadhan secara berturut-turut dan menampakkan bahwa dia berpuasa kepada khalayak umum.

c. Bagi orang yang meyakini tentang kesunnahan menyambung puasa ini secara langsung dengan puasa Ramadhan. Dengan kata lain, jika tidak terdapat hal-hal di atas, maka hukum puasa Syawwal yang dilakukan menjadi mustahab.

Al-Hathab berkata, dia berkata di kitab Al-Muqaddimat, “Imam Malik berpendapat tentang makruhnya puasa Syawwal. Hal ini dikarenakan beliau khawatir orang-orang yang kurang ilmunya akan menganggapnya sebagai bagian dari puasa Ramadhan, padahal bukan. Adapun bagi orang yang berpuasa secara samar-samar (tidak menampakkan kepada khalayak maka dia diperbolehkan untuk berpuasa.”

Melansir dari nu.or.id, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya yang berjudul Lathâif al-Ma’ârif fîma li Mawâsim al-‘Am min al-Wadhâif menyampaikan ada lima keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal sebagai berikut:

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

1. Menyempurnakan Puasa Ramadhan

Keutamaan yang pertama ialah puasa sunah Syawal sebagai penyempurna puasa Ramadhan. Hal ini sebagaimana sholat sunah rawatib sebagai penyempurna sholat fardhu lima waktu. 

2. Menyempurnakan Menjadi Pahala Puasa Satu Tahun

Kedua, puasa sunnah Syawal memiliki keutamaan menyempurnakan pahala puasa menjadi pahala puasa setahun.

Hal ini sebagaimana yang dijanjikan dalam hadits Rasulullah SAW dalam kitab Shahih Muslim yang artinya"

"Siapa saja yang berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti pahala berpuasa setahun."

 

3 dari 4 halaman

3. Menjadi Tanda Diterimanya Puasa Ramadhan

Keutamaan yang ketiga ialah, puasa sunah Syawal membiasakan umat islam untuk berpuasa setelah selesainya puasa Ramadhan. Hal ini merupakan tanda diterimanya puasa Ramadhan umat Islam.

Sebab, sesungguhnya Allah SWT apabila menerima amal kebaikan seseorang, akan menganugerahi ia untuk berbuat kebaikan setelah itu.

4. Sebagai Tanda Bersyukur Kepada Allah SWT

Selanjutnya, puasa sunah Syawal sebagai tanda syukur umat Islam kepada Allah SWT atas anugerah yang melimpah di bulan Ramadhan berupa puasa, qiyamul lail (shalat malam), zakat dan lain-lain.

4 dari 4 halaman

5. Mempertahankan Ibadah yang Dijalankan Selama Ramadhan

Selain itu, puasa sunah Syawal menjadi wujud Ibadah yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan tidak terputus.

Menjalankan ibadah puasa enam hari di bulan Syawal menunjukkan bahwa ibadah yang dijalankan selama bulan Ramadhan tidak berhenti meski bulan suci itu telah berlalu.

Seperti diketahui, baiknya Ibadah-ibadah yang dijalankan selama bulan Ramadhan hendaknya memang tetap dipertahankan oleh umat islam.

 

Dinda Permata

Sumber: Nu.or.id