Liputan6.com, Denpasar - Tragedi tewasnya pemuda ‎14 tahun I Komang Ngurah Trisna Para Mertha pada acara pementasan tarian Calonarang di Pura Sari Jati Luwih, Banjar Pekraman Dauh Pangkung Janggu, Desa Pakraman Pohsanten, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, Bali mengundang reaksi dari berbagai kalangan masyarakat.
Ketua Perhimpunan Hindu Darma Indonesia (PHDI) Gusti Ngurah Sudiana mengaku prihatin atas peristiwa tersebut. Pihaknya dalam waktu dekat akan menyampaikan imbauan resmi atas tragedi terbunuhnya pemeran Rangda dalam tarian sakral yang dilakukan di sebuah pura itu. Seharusnya, kata Gusti Ngurah, kejadian itu tidak terjadi.
"Pementasan tarian itu seharusnya dilakukan sewajarnya. Kalau sampai ada luka dan membahayakan harus dievaluasi. Tarian itu kan untuk menghibur, tujuannya untuk membuat penonton senang," kata ‎Ngurah kepada Liputan6.com di Denpasar, Rabu (21/10/2015).
Ngurah mengaku, PHDI dalam waktu dekat akan menyampaikan imbauan resmi. Karena dalam pementasan Calonarang, yang ‎seharusnya menjadi pagelaran budaya malah menjadi petaka.
"Kita akan melakukan imbauan resmi nanti. Kita akan rapat dulu," tegas dia. Menurut‎ Ngurah, tarian Calonarang itu tujuannya untuk membuat penonton terhibur, apalagi tarian tersebut sakral.
"Kalau salah ritual tidak ada, ini hanya kesalahan teknis saja. Ini kan pemerannya anak-anak mereka belum mengerti. Mestinya tidak menusuk sampai ke dalam," jelas Ngurah Sudiana.
Dia melanjutkan, "seharusnya tariannya dengan indah. Namanya saja tarian, ya sandiwara. Beda dengan sesuwunan di pura, baru itu dilakukan dengan tidak sadar. Seharusnya menari seperti biasa. Kami menyarankan menari dengan indah, dengan batasan yang tidak membahayakan."
Ngurah menambahkan, pihaknya sudah dipanggil pihak kepolisian untuk diperiksa sebagai saksi ahli. "Kita sudah minta PHDI Negara untuk mengecek lokasi kejadian. Perwakilan sana juga sudah memenuhi panggilan Polres Jembrana untuk diperiksa sebagai saksi ahli," ungkap Ngurah Sudiana.‎
Jenazah penari tarian mistis Calonarang, Komang Ngurah Trisna Para Merta diaben atau menjalani proses pembakaran mayat, pada Selasa 20 Oktober 2015 siang. Remaja asal‎ Lingkungan Delod Bale Agung, Jembrana itu diaben bersama tapakan rangda yang biasa dipakai saat menari.
"Jasad diaben bersama tapakan rangda, tujuannya memusnahkan segala pengaruh buruk. Maka, tapakan rangda yang dipakai menari sebelum meninggal juga digeseng (dibakar)," ujar salah satu keluarga yang tidak mau disebutkan namanya di Jembrana.
Keluarga membakar tapakan rangda itu mengikuti petunjuk dari arwah Ngurah Trisna. "Saat Mesuwugan (menanyakan ke orang pintar) arwah korban berpesan agar jika tidak ada yang mau menyungsung tapakan randa tersebut agar ikut diaben atau bersama dirinya," kata anggota keluarga itu. (Sun/Mvi)
Advertisement