Liputan6.com, Jakarta - Keluarga mendiang Sitor Situmorang berniat membangun rumah budaya di area sastrawan tersebut dimakamkan di Sumatera Utara. Rumah tersebut akan menjadi tempat penyimpanan karya Sitor, ziarah, diskusi maupun kegiatan riset.
"Itu cita-cita kami," ucap Gulontam Situmorang, anak lelaki tertua Sitor, usai pertunjukan instalasi teks 1 Tahun Sitor Situmorang 'Pasar Senen, Sitor dan Harimau Tua' di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, seperti dilansir Antara, Kamis (21/1/2016).
Sitor Situmorang dimakamkan di kampung halamannya Harian Boho, tepi barat Danau Toba. Ini sesuai dengan harapan penyair tersebut agar dimakamkan di Danau Toba, Sumatera Utara, seperti tertuang dalam sajaknya yang bertajuk 'Tatahan Pesan Bunda'.
Baca Juga
Semasa hidupnya, Gulontam menuturkan ayahnya selalu peduli pada budaya dan lingkungan, karena 2 hal tersebut saling berkaitan. Salah satu yang mereka soroti adalah lingkungan Danau Toba yang kini rusak, berakar dari pergeseran budaya.
Misalnya, dulu, ada kepercayaan yang beredar di masyarakat tidak boleh bicara kotor bila berada di dekat mata air. Kini, ia melihat sampah ada di mana-mana di danau tersebut.
"Di desa harus ada kebangkitan budaya setempat dan semoga bisa jadi kekuatan reservasi lingkungan. Kekuatan itu tidak bisa ada kalau ada alasan ekonomi," ujar Gulontam.
Untuk menghormati Sitor, imbuh dia, keluarga juga berencana mengadakan pesta rakyat akhir tahun ini selama 3 hari. Selain membangkitkan budaya setempat, pesta tersebut juga diharapkan memiliki manfaat ekonomi bagi warga desa.
"Pesta rakyat tersebut akan memberikan pelatihan pada anak-anak muda di Harian Boho untuk mengenal karya seni, semisal sajak, lalu mereka akan tampil mementaskan apa yang telah mereka pelajari," tutup Gulontam.
Penyair Sitor Situmorang meninggal dunia di Apeldoorn, Belanda, pada usia 91 tahun, Sabtu 20 Desember pukul 21.00 waktu setempat.
Jejak Sastra Sitor
Sitor dilahirkan dengan nama Raja Usu. Dia mengenyam pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung, kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta). Pada 1950-1952, Sitor merantau ke Amsterdam dan Paris.
Selanjutnya, ia mendalami ilmu sinematografi di Universitas California pada 1956-57. Pada tahun-tahun pertama Orde Baru, nasib buruk merundung Sitor. Ia mendekam di penjara Gang Tengah, Salemba, Jakarta, tanpa melalui proses peradilan, pada 1967-1975.
Ia masuk bui dengan tuduhan terlibat G30S. Dikenal sebagai Sukarnois, Sitor menjadi Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah organisasi di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sejak 1980-an, dia tinggal di Belanda, bersama istrinya, Barbara Brouwer. Sitor sempat mengajar di Universitas Leiden sampai 1991.
Hingga usia senja, Sitor Situmorang terus produktif menulis puisi, esai, maupun cerita pendek. Kumpulan sajak dia di antaranya 'Surat Kertas Hijau', 'Angin Danau', dan 'Bulan di Atas Batu'. Pada 2010, Sitor menolak Bakrie Awards bidang kesusastraan yang dianugerahkan kepadanya.