Liputan6.com, Semarang - Warga Tionghoa mulai mempersiapkan penyambutan Tahun Baru Cina 2567. Di Semarang, Jawa Tengah, kesibukan persiapan itu sudah terlihat. Persiapan dilakukan dengan membersihkan kelenteng, menghias rumah dengan aksesori Imlek, hingga persiapan acara.
Berbagai persiapan itu menambah kesibukan Oey Eng Tek, warga Jalan Seteran Tengah I/3, Kelurahan Seteran, Kecamatan Semarang Tengah. Hari-hari ini pria berusia 65 tahun itu berkutat dengan bilah bambu, kertas, lem, bahkan baterai dan lampu led.
Sutikno Wiro Utomo, begitu ia disapa dengan nama Jawa-nya, adalah pembuat Barongsai. Dia mempunyai penafsiran yang luas atas Barongsai.
"Barongsai bukan sekadar tarian atau atraksi. Dalam Barongsai ada gerakan perlawanan manusia pada kekuatan jahat," kata Oey Eng Tek kepada Liputan6.com, di Semarang, Jumat (22/1/2016).
Mengusir Monster
Oey Eng Tek menyebutkan awal kelahiran Barongsai sebagai ritual pengusir roh jahat. Saat itu di Tiongkok sedang musim dingin. Menjelang pergantian tahun, ada sebuah desa yang penduduknya ketakutan dengan kemunculan makhluk aneh yang mengerikan.
Di kepalanya ada lima tanduk tajam. Sepasang matanya menyorot tajam. Gigi dan kukunya juga tajam. Dia datang pada malam tahun baru dan menghilang tepat pada tengah malam. Orang-orang desa menyebut makhluk itu Nian, yang artinya tahun.
"Ketika tahun baru tiba, barulah mereka berani keluar rumah. Yang lolos dari maut sangat bersyukur dan mengucapkan, 'Gong Xi! Gong Xi! Selamat! Selamat' kepada sesama warga," kata Eng Tek.
Â
Baca Juga
Bertahun-tahun warga desa diteror Nian. Mereka ingin mengusir Nian selama-lamanya dari desa mereka. Di desa itu juga tinggal Guru Zhao, seorang sastrawan. Guru Zhao dengan tegas mengatakan bahwa Nian adalah makhluk jahat, bukan utusan Tuhan, karena itu harus dilawan.
"Kemudian guru Zhao berkata bahwa Nian takut pada warna merah. Itu setelah guru Zhao bertemu ketika mengenakan ikat pinggang merah dan Nian malah kabur," Eng Tek melanjutkan kisahnya.
Sementara para pemuda desa mengaku ketika Nian datang mereka tengah bermain tambur untuk mengiringi permainan Kuthaw atau Kungfu dan menyalakan petasan. Tapi mendengar bunyi tambur dan petasan, ternyata Nian juga takut. Apalagi permainan itu diterangi dengan lampion berbelit kain merah.
"Benarlah, ketika hal itu dipraktikkan, ternyata Nian kabur. Maka orang-orang kemudian bergembira dan mengucap 'Gong Xi! Gong Xi!' sebagai tanda sukacita," kata Eng Tek.
Advertisement
Singa atau kodok?
Sementara itu menurut Tubagus P Svarajati, pegiat seni di Semarang, Barongsai dan Liong Samsi sejatinya diciptakan sebagai bentuk permainan untuk melatih kepiawaian beladiri silat kunthaw atau kungfu yang populer lewat film-film Hong Kong.
Dia mengatakan selama ini terjadi kesalahkaprahan dalam melihat Barongsai sebagai representasi Singa. Tubagus melihat, jika menilik gerakannya, sejatinya Barongsai justru gerak kodok.
"Pemain Barongsai (representasi makhluk kodok), terutama kakinya, selalu dalam posisi kuda-kuda besi (baca :mbesi [bahasa Hokkian] "e" seperti kata mbelot, pembelot). Kedua lutut ditekuk, setengah jongkok seperti sedang duduk," kata Tubagus.
Secara pakem, kepala barongsai digerakkan oleh pemain dengan menumpukkan kekuatan bahu dan pinggang, bukan lengan. Gaya Barongsay ini merupakan gaya kungfu Tiongkok selatan, daerah Hokkian atau Fujien (sekarang daerah Xiamen).
"Jelas sekali perbedaan gaya kungfu Tiongkok utara yang mengandalkan tangan dan Tiongkok selatan yang mengandalkan kaki. Sangat jelas terlihat jika disandingkan dengan permainan Liong yang mengandalkan kekuatan tangan," kata Tubagus.Â
Master Barongsai
Sebagai pembuat Barongsai, nama Eng Tek alias Pak Tikno telah mencapai puncak popularitas. Tiap menjelang Imlek pesanan membanjir. Bahkan saat ini ia mengaku telah menolak pesanan Barongsai dan liong dari Kupang dan Bogor.
"Kalau sudah mepet begini, tenaga kami tidak mampu, akhirnya kami tolak," kata Eng Tek.
Mulai diproduksi sejak 1994, barongsai dan liong Soetekno sudah dikenal di pelosok nusantara. Ia kerap menerima pesanan dari Jakarta, Surabaya, NTT, NTB, Sumatera, Kalimantan. Untuk membuat satu Barongsai, membutuhkan waktu seminggu, sedangkan untuk naga atau liong, rata-rata dibutuhkan waktu hingga dua minggu.
Proses pembuatan kerangka kepala, baik Barongsai maupun naga dari bambu, memakan waktu yang lama. Setelah rangka terbentuk, baru diteruskan dengan rangka badan dan ekor.
Facebook
Kembali ke Oey Eng Tek, dia menceritakan bahwa harga Barongsai buatannya cukup murah mulai dari Rp 2 jutaan, sementara untuk liong dihargai Rp 7 jutaan. Mengenai model Barongsai, Eng Tek selalu meng-update model terbaru. Biasanya model dari China, Malaysia, Singapura, dari beberapa negara itu ada ciri khasnya sendiri.
"Modelnya selalu saya update atau mengikuti dari persobaria, yakni wadah untuk pembuat Barongsai. Saat ini pun mata barongsai menggunakan lampu led dan baterai agar tidak cepat mati," kata Eng Tek
Ucapan Eng Tek tentang meng-update diri bukan sekedar isapan jempol. Saat ini ia memasarkan produknya dengan memanfaatkan Facebook. Dengan media sosial itu, diakuinya pemasaran tetap hidup.
"Saya kan harus menerima pesanan, apalagi saya punya karyawan yang harus makan. Pesanan di luar Barongsai pun saya kerjakan," kata Eng Tek.
Kondisi saat ini, Barongsai bukan hanya menjadi tradisi tarian bagi masyarakat Tionghoa, namun sudah menjadi sebuah seni kebudayaan yang perlu dilestarikan. Kerajinan yang ia buat pun telah melanglang buana ke berbagai daerah dan cukup dikenal.
"Pakai Facebook, dari daerah lain bisa pesan. Soalnya pesanan untuk wilayah Semarang jarang, Barongsai memiliki kekuatan tiga tahun tergantung perawatannya," kata Eng Tek.
Advertisement