Liputan6.com, palembang - Jembatan Ampera yang menjadi salah satu ikon kota Palembang ternyata menjadi saksi jatuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Selatan.
Menurut sejarawan Sumsel RM Ali Hanafiah, pembangunan Jembatan Ampera yang dimulai pada tahun 1960 hingga 1963 awalnya dinamakan Jembatan Bung Karno, karena Presiden RI pertama yang meresmikannya.
Namun sekitar tahun 1965-an, meledaklah gerakan pemberangusan semua yang berbau komunis. Termasuk nama jembatan Bung Karno juga ikut diganti.
"Pada tahun 1967 juga awal kebangkitan Orde Baru (Orba), nama Jembatan Bung Karno diganti dengan nama Jembatan Ampera, hingga saat ini nama itu dipakai," ujar Ali kepada Liputan6.com, Jumat 29 Januari 2016.
‎Tidak hanya penggantian nama jembatan, lagu Gending Sriwijaya yang menjadi pengiring tari Gending Sriwijaya khas Sumatera Selatan (Sumsel) juga dilarang digunakan.
Baca Juga
Alasannya, kata Ali, karena pencipta lagu Gending Sriwijaya, yaitu Nungtjik AR disinyalir juga ikut dalam gerakan PKI.
Sebagai gantinya, digunakanlah lagu dan tari Tanggai sebagai tarian khas Sumsel yang sering digunakan pada acara penting kenegaraan maupun acara lainnya. Butuh waktu lama untuk bisa mengembalikan lagi tarian Gending Sriwijaya ke permukaan.
"Harusnya kita realistis, itu khasanah budaya, harus dilestarikan. Jadi seiring waktu dan para sejarawan sering mendiskusikannya, akhirnya lagu dan tarian Gending Sriwijaya‎ sudah boleh digunakan lagi," lanjut Ali.
Hilangnya Tambangan Perahu
Selain pupusnya nama Jembatan Bung Karno di era tersebut, tradisi warga Palembang juga turut hilang dari permukaan. Yaitu, tambangan perahu sebagai alat transportasi sungai, yang menghubungkan kawasan hilir ke hulu.
"Sebelum dan sesudah ada Jembatan Ampera, masih banyak tambangan perahu di pinggir Sungai Musi," ungkap Ali.
Tambangan perahu itu menggunakan kayu meranti dengan panjang 4 meter, bentuknya pipih dan tahan air. Daya tampungnya bisa memuat maksimal 6 orang penumpang.
"Dulu, warga Palembang menggunakan transportasi itu untuk menyeberang, belum ada perahu ketek saat itu," kata Ali.
Namun, lama kelamaan, angkutan darat dan sungai semakin banyak. Tradisi naik tambangan perahu semakin ditinggalkan, sampai akhirnya tidak tersisa satu pun tambangan perahu di Palembang, hingga saat ini.
"Satu pun tidak ada lagi sisa-sisa tambangan perahu. Saya sudah mencarinya sampai ke orang-orang tua dulu, tapi memang sudah tidak ada. Tapi saya masih menyimpan replika tambangan perahu dirumah, untuk mengingatkan sejarah tradisi Sungai Musi," lanjut Ali.
Selain itu, beredar kabar tentang tumbal manusia ‎untuk bisa membangun Jembatan Ampera. Dari cerita yang menyebar, ada warga yang diculik, kepalanya dipenggal dan ditaman di dekat pembangunan Jembatan Ampera.
Namun, Kepala Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang ini mengatakan tidak ada bukti otentik tentang kebenaran berita tersebut.
"Saat pembangunan, memang beredar berita seperti itu. Tapi sejauh ini, tidak ada yang melaporkan kehilangan anak ataupun keluarga di Palembang. Jadi, tidak bisa dibuktikan kebenaran info tersebut," tandas Ali.