Liputan6.com, Makassar - Pemerintah Kota Makassar merespons gencarnya petisi penuntutan upah bagi 20 warga eks penderita penyakit kusta yang diberdayakan sebagai penyapu jalan. Pemerintah terkendala aturan anggaran sehingga hanya bisa memberi kompensasi berupa sembako.
Kompensasi tidak berupa uang karena anggaran upah untuk mereka tidak tercatat dalam DIPA kota Makassar Tahun 2015, khususnya yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Makassar. Karena itu, pemberian upah berupa uang dikhawatirkan akan dijadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Hal itu dilakukan karena pertimbangan sendiri. Tapi, yang ada bunyi redaksi dalam notulen anggaran dinas sosial yakni pemenuhan jaminan hidup berupa pemberian barang," kata Kepala Dinas Sosial Kota Makassar Yunus kepada Liputan6.com, di kantornya, Selasa (2/2/2016).
Dinas Sosial berupaya mencarikan jalan keluar dengan menunggu anggaran perubahan tapi ternyata juga tak diloloskan. Selama 9 bulan menunggu proses, Dinas Sosial memberikan bantuan sembako sesuai dengan kebutuhan para warga eks penyandang kusta tersebut.
"Jad,i ini tak ada masalah lagi. Semuanya sudah terselesaikan dan kita punya bukti pemberian bantuan sebagai pengganti tuntutan mereka yang mana sebelumnya kesepakatan awal tak ada pemberian upah melainkan berupa kompensasi berupa pemenuhan kebutuhan mereka," kata Yunus.
Baca Juga
Dia menjelaskan program pemberdayaan mantan penyandang penyakit kusta menjadi penyapu jalan raya merupakan gagasan Dinas Kebersihan kota Makassar sejak awal 2015.
"Dalam perjalanan ini, dapat warning oleh BPK. Jika dibayarkan berupa upah akan jadi temuan sehingga kita tidak lanjutkan," kata Yunus.
Dari seluruh penyandang kusta yang diberdayakan, Dinas Kebersihan hanya memilih 20 orang karena dianggap masih memiliki kemampuan fisik yang memadai.
"Kita jelaskan kalau yang terpilih ini, secara fisik masih punya kemampuan beda yang menggunakan kursi roda tentu sulit dan akhirnya disepakatilah,"ujar Yunus.
Sebelumnya [petisi menuntut upah](2403314/ "")gencar via Change.Org dan menyebar di media sosial yang dilakukan oleh Derry Perdana Munsil selaku Pegiat Gerakan Aksi Indonesia Muda Sulsel.
Petisi Penyapu Jalan
Demikian bunyi petisi berjudul Berikan Upah Tukang Sapu jalan di Dangko Makassar:
Makassar, 30 Desember 2015. Setelah 9 bulan lamanya, Pemkot Makassar dalam hal ini Dinas Sosial Makassar tak kunjung memberikan upah kepada para penyapu jalan yang tinggal di Jalan Dangko (Kampung Mantan Penderita Kusta). Padahal kegiatan ini merupakan program yang diusung oleh Dinsos Makassar di awal Januari tahun 2015 lalu.
Tujuannya agar bisa mempekerjakan warga Dangko menjadi penyapu jalan di sekitar Abdul Kadir Cenderawasih, sekaligus sebagai upaya meminimalisir jumlah pengangguran dari kampung ini.
Menurut para penyapu jalan tersebut, mereka hanya sempat digaji selama 3 bulan namun setelah itu tidak ada lagi. Upahnya pun, bukan dalam bentuk fresh money melainkan dalam bentuk sembako yang sudah disepakati pada awalnya antara para pekerja bersama pihak Dinsos.
Sayangnya, program tersebut jauh dari cita-cita di awal. Pasalnya, sudah sekian lama para penyapu jalan ini bersabar menunggu upahnya namun tidak pernah diberikan selama kurang lebih untuk 9 bulan. Bisa kita bayangkan, apa jadinya jika para pekerja dibiarkan bekerja begitu saja kemudian terlunta-lunta selama 9 bulan tanpa ada kejelasan kapan mereka diberikan upah.
Menuntut Hak Tukang Sapu Jalan
Tidak hanya itu, per tanggal 3 Agustus 2015 Lembaga Sosial (red : Aksi Indonesia Muda) sudah mencoba mengadvokasi para pekerja penyapu jalan untuk bersama-sama membuka dialog dengan pihak Dinsos. Sayangnya, tidak ada solusi konkret yang dihasilkan dari forum dialog yang dicoba, malah para pekerja hanya “dijanjikan” akan diberikan gaji pada bulan September 2015.
Adapun alasan terlambatnya keluar gaji pekerja, dikarenakan dananya belum cair dari DPRD. Alhasil hingga detik ini, upah sebanyak 20 orang para penyapu jalan tak kunjung diberikan yang akhirnya makin membuat warga Kampung Dangko pesimis dengan langkah pemerintah.
Perubahan Bukan Sekedar Slogan
Pemerintah semestinya hadir sebagai pendorong bagi rakyat kecil menuju kesejahteraan, bukan hanya membuat mereka sebagai “modal politik” untuk berebut jabatan. Kasus di atas kiranya menjadikan kampung Dangko sebagai satu stereotype kampung kaum marginal yang diperlakukan bak “sapi perah” dan hanya digunakan untuk meraup suara pas momen pemilu.
Politik hadir dengan wajahnya yang bengis dengan menakar manusia sebagai satu suara, tidak lebih dari itu. Di saat mereka membutuhkan dorongan dari pemerintah, malah pemerintah terkesan membiarkan seolah bukan mereka bukan bagian dari elemen perkotaan.
Seperti yang kita ketahui, Kampung Dangko merupakan salah satu kampung miskin di pinggiran kota, yang notabene sejak dulu merupakan penyumbang jumlah pengemis terbesar di Makassar.
Kampung ini dihuni oleh mantan penderita kusta beserta keluarganya dan memang mereka banyak berprofesi sebagai pengemis, tukang parkir dan pemulung. Namun sayangnya, sejak dahulu belum ada tindakan yang serius dari pemerintah untuk mengurai masalah pengemis dari kampung ini secara berkesinambungan.
Pemerintah hanya sibuk mencari slogan-slogan keren yang pas buat perkotaan tapi selalu minim esensi dan dampak berkelanjutan. Tagline “Makassar Kota Dunia” atau bahkan “Makassar Tidak Rantasa” hanya akan jadi pemanis ditelinga sekian banyak warga Dangko, yang mencari uang makanpun susah.
Mari Kita Dukung Gerakan #SAVEDANGKO
Sekarang saatnya kita bersatu tegakkan idealisme atas nama kemanusiaan dan keberpihakan kepada rakyat kecil dengan aksi nyata dengan menyebarkan petisi ini. Tuntutan kami cukup dua poin inti bagi pemerintah kota
1.Menuntut agar pihak Dinsos Makassar segera membayarkan upah kepada 20 orang tukang sapu jalan di Dangko.
2.Mendesak pihak Pemkot Makassar agar turut membantu gerakan pemberdayaan yang ada di kampung Dangko agar semakin banyak orang yang bisa diberdayakan dan hidup mandiri.
Advertisement