Sukses

Memahami Keberagaman Lewat Imlek

Memanfaatkan momentum perayaan Imlek untuk mengenalkan keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.

Liputan6.com, Semarang - Benita Dearany, seorang murid kelas 2A SDK YSKI Semarang, terlihat serius memotong-motong kertas. Sementara di sebelahnya ada Satria Putrasetya yang mencoba menempel-nempel kertas yang sudah dipotong itu ke bilah-bilah bambu sebesar lidi yang dibentuk lingkaran. Dua anak itu ditemani siswa lain etnis Tionghoa, Gisela Quenara.

Ternyata mereka sedang bekerja sama membentuk sebuah lampion. Sementara guru kelasnya, Maria Y. Ariastuti, sibuk berkeliling, mengawasi murid-muridnya bekerja sama.

"Jadi lampion itu berfungsi sebagai lampu. Itu dulu saat listrik belum ditemukan," kata Maria Ariastuti.

Pemandangan ini nyaris merata di semua kelas di sekolah itu, Jumat, 5 Februari 2016. Ini bukan sebuah penyeragaman materi pelajaran dari kelas 1 hingga kelas 6. Sekolah ini memanfaatkan momentum perayaan Imlek untuk mengenalkan keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.

Kepala SD YSKI 1 Semarang, Veronika Mayangsari SPsi, menyebut pembelajaran tentang perbedaan dalam hidup itu harus dilakukan sejak dini. Selain Imlek, pihaknya juga terbiasa mengkondisikan upaya pembelajaran tentang keberagaman memanfaatkan momentum yang ada.

"Saat Natal, anak-anak diajak membuat dan menghias pohon Natal, mendekor sekolah dengan nuansa Natal. Saat Lebaran, kami perkenalkan tradisi umat Muslim juga, membuat ketupat dan lain-lain," kata Veronika.

Sekolah yang berada di Jalan Dr Cipto Semarang ini memandang perlu adanya pembelajaran keberagaman agar tak muncul sikap memandang diri sebagai sosok sempurna. Ditambahkan Veronika, pembelajaran tidak melulu melalui pengenalan, tapi juga keteladanan. Semua guru, kepala sekolah, hingga satpam dilibatkan.

"Pas Lebaran, kami mengucapkan selamat kepada guru, murid, security, atau penjaga sekolah yang Muslim. Sekolah ini multietnis, multiras, multi-agama, jadi menguntungkan untuk pembelajaran tentang pluralitas ini," kata Veronika.

Apa yang disampaikan Veronika bukan sekadar pemanis mulut. Usai para siswa membuat lampion dan pernak-pernik lain hiasan Imlek, ternyata guru-guru dan karyawan lain juga dilibatkan mendekor sekolah dengan suasana Imlek.

Mereka ramai-ramai mendekor sekolahnya dengan suasana Imlek. Keceriaan mewarnai mereka. Mereka seperti berlomba mewujudkan imajinasi tentang Imlek, tentang Negeri Tiongkok, tentang legenda Imlek berdasarkan cerita gurunya, informasi media internet dan apa pun.

"Kalau dibilang ikut merayakan, enggak juga. Tapi kalau memeriahkan, membantu mereka yang merayakan, barangkali itu lebih pas," kata Maria, wali kelas 2A.

Maria mengucapkan hal ini sebagai wujud kehati-hatian. Diceritakan bahwa ia pernah mendengar bahwa hukumnya haram mengucapkan selamat kepada perayaan di luar agamanya. Karena itu, ia memilih menggunakan istilah 'memeriahkan' dan 'membantu yang merayakan'.

"Menurut saya, Imlek ini bukan soal agama. Ini budaya. Tradisi. Seperti masyarakat Jawa, Batak, Sunda, Madura, dan lainnya juga punya tradisi," kata Maria.

Dengan pembelajaran pluralitas itu, ia yakin siswa akan semakin memiliki batin yang kaya, sehingga bisa melihat suatu persoalan dari berbagai sudut. Maria maupun Veronika mengatakan bahwa nilai lebih dari sikap toleran itu mampu menjadikan sosok pribadi yang adaptatif.

Menjelang sore, Semarang diguyur gerimis. Antrean mobil penjemput sudah mengular. Terlihat Joshua Axl Christian, Gissela Quenara, Daniel Liem Kiem Kie, Benita Dearany dan Satria Putrasetya berjalan beriringan. Mereka saling bercakap dengan akrab. Tak menyoal perbedaan bentuk garis mata, apalagi makanan.