Liputan6.com, Yogyakarta - Kaum peranakan Tionghoa ada di mana-mana. Di berbagai kota tempat mereka membentuk komunitas atau tempat tinggal yang biasa disebut pecinan.
Di Yogyakarta ada beberapa daerah pecinan. Salah satu yang populer adalah Ketandan yang berada di jantung Kota Yogyakarta. Ketandan terletak di utara Pasar Beringharjo Jalan Malioboro. Gapura Kampung Ketandan terpasang di depan kampung.
Baca Juga
Salah seorang tokoh Tionghoa di kawasan itu, Tjundaka Prabawa, menjelaskan nama ketandan terkait sejarah berkembangnya budaya China di Yogyakarta. Orang-orang Tionghoa di Ketandan pun sangat dekat dengan Keraton waktu itu.
Advertisement
"Ketandan itu dari kata tanda atau penarik pajak warga Tionghoa untuk Keraton Yogya. Dulu di sini tempat tinggal penarik pajak itu," ujar Cun, panggilan Tjundaka, kepada Liputan6.com, Senin (8/2/2016).
Menurut dia, keberadaan Ketandan juga terkait dengan tokoh Tionghoa bernama Tan Jin Sing yang hidup antara 1760 sampai 1831. Hasil penelusurannya di Belanda, diketahui ada sebuah peta Yogyakarta masa Tan Jin Sing hidup.
Selain itu, ditemukan foto rumah dengan perpaduan gaya arsitektur perpaduan antara Eropa, Cina, dan Jawa. Rumah itu adalah milik Tan Jin Sing.
Tan Jin Sing saat itu merupakan seorang kapitan Tionghoa (kepala golongan penduduk China) yang dikenal sangat pandai dan menguasai tiga bahasa, yakni Inggris, Hokian, dan Mandarin.
Cun mengatakan sebenarnya Tan Jin Sing adalah putra seorang bangsawan Jawa. Ayahnya meninggal saat Tan Jin Sing masih bayi. Ayahnya merupakan Demang Kalibeber di Wonosobo dan ibunya masih keturunan Sultan Amangkurat dari Mataram bernama Raden Ayu Patrawijaya.
Kondisi ini membuat orang Tionghoa yang bernama Oei The Long ingin mengasuh Tan Jin Sing. Oie The Long lah yang memberinya nama Tan Jin Sing.
"Anaknya ganteng, putih, matanya lebar. Ibu angkatnya senang dan setuju Tan Jin Sing lalu diadopsi oleh Oie," ucap Cun.
Namun tidak lama kemudian, ibu angkatnya meninggal. Oie lalu meminta kepada ibu kandungnya Patrawijaya untuk mengasuh Tan Jin Sing. Ibunda kandung Tan Jin Sing akhirnya mau mengasuh anaknya.
Setelah beberapa lama karena sering bertemu Oie akhirnya terpikat oleh kecantikan ibunda Tan Jin Sing. Oei dan dan Patrawijaya akhirnya memutuskan menikah.
"Dua belas tahun tahun menikah ibunya Tan Jin Sing (Patrawijaya) meninggal. Sebelum meninggal itu, ibunya bilang ke Tan Jin Sing jika dialah ibu kandungnya," kata Cun.
Tan Jin Sing lalu hidup di kalangan Tionghoa dan memutuskan menikah dengan anak seorang Kapitan China di Yogyakarta. Sepeninggal mertuanya, Tan Jin Sing melanjutkan tugas mertuanya sebagai Kapitan Cina.
Singkatnya, karena kepandaiannya dan intens berkomunikasi, dia dekat dengan Thomas Stamford Bingley Raffles yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jawa.
Kedekatan inilah yang mengatarkannya mendapatkan gelar dari Keraton. Tan Jin Sing memiliki gelar dari Keraton, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono III.
"Tan Jin Sing ini menjadi penghubung antara Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Thomas Stamford Bingley Raffles. Karena jasanya itu, Sultan HB III mengangkatnya sebagai bupati dan diberikan gelar KRT Secadiningrat. Namanya juga dijadikan jalan di Yogya," ujar Cun.
Sultan HB III juga memberikan hadiah tanah kepada Tan Jin Sing di daerah Ketandan. Ia bertugas mewakili Keraton di kalangan Tionghoa waktu itu.Â
Baca Juga
Rumah Tan Jin Sing waktu itu berarsitektur campuran gaya Eropa, China dan Jawa. Rumah seluas 700 meter ini pun pernah dihuni Sultan HB III. Namun saat ini rumah itu sudah hancur.
"Ia menempati rumah di sini (Ketandan) dan karena beranak turun, sehingga dipecah-pecah, akhirnya tanah itu dipisah-pisah. Kalau yang rumah Tan jin Sing yang di depan sudah rata dengan tanah," kata Cun.
Sementara itu, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Yerry Wirawan, mengatakan datangnya orang Tionghoa di Yogyakarta sulit dilacak. Karena penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia. Namun dia memperkirakan kedatangan orang Tionghoa di Yogyakarta tidak lama setelah Keraton Yogya berdiri, yaitu sekitar 1750-an.
"Yogya cukup unik kapan mulai adanya sulit ditelusuri. Tahun 1755 dan 1756 baru ada Keraton sudah ada orang China atau belum tahu, tapi kapan ada saya tidak bisa bilang," kata Cun.
Kalau dari sejarah Jawa dan Mataram, pada era kolonial sudah ada orang China. Namun kapan mulai ada belum bisa dipastikan.
"Mungkin abad 18 akhir atau awal abad 19 baru keliatan tanda kehadiran di Yogyakarta," ujar Cun.
Saat itu orang Tionghoa kebanyakan berdagang sebagai penjual emas di beberapa wilayah di Yogyakarta, termasuk di daerah Ketandan. Bahkan, saat ini pun masih terlihat peninggalan orang Tionghoa dahulu yang berjualan emas di Ketandan.