Sukses

Asal Mula Istilah Mabuk Kepayang

Istilah mabuk kepayang ternyata erat kaitannya dengan buah kluwek. Mengapa demikian?

Liputan6.com, Bengkulu - Mabuk kepayang seringkali disematkan kepada mereka yang sedang dimabuk asmara. Apakah Anda tahu jika sebutan mabuk kepayang ternyata berkaitan dengan buah kluwek dan Kabupaten Kepahiang, Bengkulu?

Buah kluwek (Pangium edule) dikenal sebagai salah satu bumbu masak. Buah itu menjadi bahan utama untuk masakan berkuah hitam khas Indonesia, seperti rawon dan sup konro.

Sementara itu, Kepahiang adalah nama sebuah kabupaten di Provinsi Bengkulu. Lokasinya berada di kawasan Pegunungan Bukit Barisan.

Antara Kepahiang dan kluwek memiliki hubungan erat. Di wilayah itu memang banyak ditumbuhi pohon kluwek atau disebut pula pohon kepahiang, terutama di Hutan Lindung Bukit Daun dan kawasan konservasi Bukit Barisan.


"Buah kepahiang atau kluwek ternyata tidak sembarangan bisa diolah. Bila dimakan mentah-mentah, maka pemakannya dipastikan akan mabuk berat alias teler," tutur peneliti dari Lembaga Riset dan Kajian Sosial Budaya, Hidi Christopher, di Bengkulu, Sabtu (13/2/2016).

Hidi mengatakan biji buah itu sangat beracun karena mengandung asam sianida. Menurut cerita, biji atau buah kluwek itu biasa digunakan sebagai racun saat berburu ataupun berperang. Warga biasa mengoleskan racun itu di anak panah.

Mabuk kepahiang itu, kata Hidi, konon sangat kuat dan sulit disembuhkan. Karena itu, untuk menghilangkan racunnya, biji kluwek harus direndam dan direbus terlebih dahulu.

Namun, penyebutan mabuk kepahiang lama-lama berubah menjadi mabuk kepayang. Hal itu karena mabuk kepayang lebih mudah diucapkan dengan pelafalan yang cepat.

Istilah mabuk kepahiang pun akhirnya berubah menjadi mabuk kepayang. Bahkan, maknanya mengalami pergeseran karena dikaitkan dengan mabuk asmara. Tidak lagi mabuk bermakna denotatif.

2 dari 2 halaman

Liku Sembilan


Sebutan mabuk kepahiang juga tidak semata-mata karena buah kluwek. Mabuk kepayang juga bisa jadi terinspirasi dari perjalanan sulit yang dilewati dari Kabupaten Bengkulu menuju Kepahiang.

Dengan jarak 64 kilometer, Anda akan melewati perbukitan yang dikenal dengan nama Liku Sembilan. Jalanannya mendaki dan menurun serta belokannya sangat tajam.

Dengan beratnya medan, banyak pengendara menepi di warung pinggir jalan untuk meredakan mabuk perjalanan. Hal itu pula yang dinilai menjadi pangkal penyebutan mabuk kepayang.

Sejak zaman penjajahan Belanda, Kota Kepahiang dikenal sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong - pada waktu itu disebut afdeling Rejang Lebong. Kepahiang tetap menjadi pusat pemerintah Kabupaten Rejang Lebong pada zaman pendudukan Jepang selama 3,5 tahun.

Akhirnya, Menteri Dalam Negeri meresmikan Kepahiang sebagai kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Provinsi Bengkulu.