Sukses

Transaksi di Abad 19 Akar Konflik Panjang Sriwedari Solo

Transaksi itu bermula dari perintah Paku Buwono X, raja Kasunanan Surakarta saat itu, ingin membeli tanah milik orang Belanda.

Liputan6.com, Solo - Berada di pusat kota, Taman Sriwedari sejak lama menjadi ikon Kota Solo. Sejumlah bangunan bernilai sejarah tinggi berdiri di atas tanah seluas 9,9 hektare. Ketenarannya harus terusik dengan konflik panjang antara Pemkot Solo dan ahli waris Wirjodiningrat.

Siapa sosok Wirjodiningrat itu? Sebelum menjawab itu, putra mendiang Paku Buwono XII, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Dipokusumo menuturkan awal mula tanah Sriwedari yang awalnya bernama Talang Wangi. Tanah itu rencananya akan dijadikan pusat kerajaan ketika pindah dari Keraton Pajang Kartasura.

"Talang Wangi bersama dengan Bekonang dan Sala menjadi calon pusat kerajaan Kasunanan Surakarta," kata Dipokusumo kepada Liputan6.com, Rabu (17/2/2016).

Seiring waktu, tanah itu dimiliki orang Belanda bernama Yohanes Busselar. Raja Kasunanan Surakarta yang berkuasa saat itu, Paku Buwono X kemudian membeli tanah tersebut. Ia mendelegasikan pembelian itu kepada orang yang dipercayainya.
 
"Sistem administrasi pada zaman dahulu itu, semua yang mengurusi tentang jual beli itu biasanya dipercayakan kepada orang yang dipercaya. Jadi misal raja punya mobil, maka atas namanya itu orang yang dipercaya itu," jelas Dipokusumo.


RMT Wirjodiningrat, kata dia, kebetulan adalah orang kepercayaan raja saat itu. Ia adalah putra dari Patih Sosrodiningrat saat PB IX berkuasa. Raja menugaskan Wirjodiningrat untuk membeli tanah itu yang diresmikan dalam akte jual beli tertanggal 13 Juli 1877.

GPH Dipokusumo. (Liputan6.com/Reza Kuncoro)

"Wirjodiningrat ini dulu kalau nggak salah jabatan cuma asisten. Dan ada kemungkinan dia orang kepercayaan PB X. Nah, membeli tanah seluas itu tidak murah. Kalau membeli, uang Wirjodiningrat itu dari mana?" ucap Dipokusumo.

Setelah terbeli, PB X kemudian terpikir untuk menjadi Talang Wangi menjadi Sriwedari setelah beranjangsana ke Kebun Raya Bogor. Dipokusumo menyebut, PB X memang suka berkunjung ke daerah-daerah lain dan mendapat inspirasi dari perjalanannya.

"Nah, isi dari Taman Sriwedari ini adalah Segaran yang dulu sering dijadikan lokasi Maleman saat hari ke-21 puasa. Kemudian diisi juga dengan kebun binatang seperti yang ada di keraton, seperti gajah dan harimau. Jadilah, taman satwa di Sriwedari," tutur dia.

Selain kebun binatang, PB X juga mendirikan Gedung Wayang Orang Sriwedari.  Gedung itu mementaskan wayang orang Mahabarata yang dulunya hanya bisa dinikmati mereka yang tinggal di dalam tembok keraton.

"Tujuan dari pembangunan Taman Sriwedari itu adalah sebagai publik space, hiburan untuk masyarakat luas. Makanya, dibangun gedung wayang itu supaya masyarakat bisa menikmati pentas wayang orang, seperti yang dilakukan oleh keluarga keraton," jelas Dipokusumo.

Selain gedung wayang, di Sriwedari juga ada Stadion Sriwedari, tempat digelarnya Pekan Olahraga Nasional (PON) I. Pembangunan lapangan itu, kata dia, tak lain karena anak-anak raja PB X saat itu suka bermain sepak bola.

"Makanya kemudian dibangun lapangan itu," kata Dipokusumo.

2 dari 2 halaman

Konflik Panjang Sriwedari


Berjalannya waktu, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Keraton Kasunanan Surakarta menyatakan bergabung dengan NKRI. Karena itu semua yang berhubungan dengan keraton diatur Pemerintah RI. Termasuk, pengaturan tanah milik keraton.

"Tanah milik keraton itu kemudian diambil alih oleh RI," kata Dipokusumo.

Ada beberapa peninggalan keraton yang menjadi aset dari Sunan Ground. Termasuk salah satunya adalah Taman Sriwedari. Mengingat Taman Sriwedari itu berfungsi sebagai ruang publik, pengelolaannya menjadi domain dari Pemkot Solo saat itu.

"Sekarang kan yang muncul adalah hitam di atas putih. Tanah Sriwedari itu tertulis milik Wirjodiningrat. Dan tanah itu kemudian diaku oleh trah Wirjodiningrat. (Padahal), Wirjodiningrat itu dulunya orang yang dipercaya raja," ucap Dipokusumo.

Sebelas orang yang mengaku sebagai ahli waris Wirjodiningrat kemudian mendaftarkan gugatan perdata pada 24 September 1970 ke Pengadilan Negeri Surakarta. Setelah 46 tahun berlalu, Mahkamah Agung kemudian memutus menolak pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Pemkot Solo. Tepatnya pada 10 Februari 2016.

Gedung Wayang Orang Sriwedari. (Liputan6.com/Reza Kuncoro)

Keputusan itu berarti tanah Sriwedari seluas 9,9 hektare dinyatakan milik ahli waris Wirjodiningrat. Mereka kemudian mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri (PN) Solo untuk mengeksekusi keputusan PK MA itu.

Kepala Humas Pengadilan Negeri (PN) Solo, Winarto, mengatakan pihak ahli waris telah mengajukan surat permohonan eksekusi yang baru untuk pengosongan lahan Sriwedari. Dalam surat permohonan tersebut juga dilampirkan fotokopi putusan di laman MA.

"Ada surat permohonan eksekusi untuk kedua kalinya terhadap lahan Sriwedari. Informasi pengajuan eksekusi baru itu melampirkan putusan PK yang ada di laman MA," ujar dia di Solo, Selasa 16 Februari 2016.

Hanya saja, lanjut Winarto,  saat ini pihak pengadilan masih melakukan proses aanmaning dalam bentuk negosiasi yang melibatkan pihak Pemkot Solo, ahli waris, dan Keraton Solo. Bahkan, kemarin digelar pertemuan dengan berbagai pihak untuk proses aanmaning di ruang Kepala PN Solo.

"Saat ini sedang proses aanmaning dampak dari putusan tahun lalu. Namun untuk proses pengajuan eksekusi yang baru, kami masih menunggu salinan putusan PK yang dikirimkan dari MA," ujar Winarto.

Winarto mengatakan bahwa hasil putusan sesuai dengan yang dikeluarkan oleh pihak kepaniteraan di laman MA. Meski demikian, pihaknya masih menunggu datangnya direktori salinan putusan dari MA.

"Kalau kapan datangnya salinan surat putusan resmi dari MA belum tahu. Tetapi, batasan atau limit untuk surat itu tiga tahun," kata Winarto.