Liputan6.com, Makassar - Eksploitasi unggas jenis burung Pipit atau Bengisi berlangsung di Makassar. Burung pipit ditangkap dengan jaring atau pukat di tengah sawah siap panen seperti di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Burung pipit biasa disebut Jangang-jangang Bengisi oleh Suku Bugis Makassar. Setelah ditangkap, burung pipit diwarnai menggunakan zat pewarna kain pada bagian sayap, badan, dan kepalanya.
Tujuannya agar anak-anak tertarik dan membelinya. Pedagang burung pipit warna itu banyak dijumpai di berbagai tempat di Makassar.
"Kalau saya hanya jual Jangang-jangang bengisi ini dengan kondisi sudah diwarnai. Dua ekor lengkap dengan kandang kecilnya saya jual Rp 10.000," kata Dg Gani, seorang pedagang, kepada Liputan6.com di Jalan Penghibur, Makassar, Senin (22/2/2016).
Baca Juga
Â
Advertisement
Baca Juga
Selain berjualan di kawasan Anjungan Pantai Losari, Dg Gani mengaku setiap harinya berkeliling dari sekolah ke sekolah khususnya SD yang ada di Kota Makassar dengan burung pipit aneka warna.
"Kadang saya jual per ekor Rp 3000, caranya ikat salah satu kaki bengisi ini lalu diserahkan kepada murid SD yang membeli. Lucunya bagi mereka (anak-anak SD) karena diujung tali pengikatnya diberikan pemberat, dilepas ke udara lalu dikejar kesana kemari," ujar dia.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan tradisi etnis Tionghoa yakni Fhang Seng atau pelimpahan jasa kebaikan lewat hewan di awal memasuki hari pertama terbitnya matahari tahun baru.
Fhang Seng adalah satu kepercayaan yang diwarisi warga Tionghoa atau umat Budha sacara turun temurun dengan melepas berbagai hewan ke alam bebas.
"Kalau dulu hewan-hewan yang dilepas hanya bukan hanya penyu dan sejenisnya, tapi termasuk burung pipit," kata William, ketua pemuda etnis Tionghoa Sulsel.