Sukses

Hari-hari Galau Wanita Bertato Mawar di Sunan Kuning

Para pekerja seks komersial di Sunan Kuning mencemaskan efek penutupan Kalijodo.

Liputan6.com, Semarang - Ponsel bergetar, terlihat jam digital menunjukkan angka 09.32 dan suhu udara 30oC. Di kawasan lokalisasi Sunan Kuning, perempuan bertato mawar mekar di punggung telapak tangan beringsut dari duduknya.

Kamis (3/3/2016) pagi, Mawar, sebut saja begitu, tampak kusut rona mukanya. Mengenakan tanktop kuning dan celana pendek jins, ia melipir ke warung sebelah.

"Aku ra duwe utang to Bu (Aku tak punya utang kan, Bu)?" tanya perempuan yang enggan menyebutkan namanya itu.

"Ora (tidak)," jawab ibu pemilik warung sambil mengangsurkan sebungkus kretek mild produksi Kudus.

Setelah membayar, ia melangkah ke rumah penampungan, menemui seorang perempuan yang dipanggilnya mamine. Ditemani segelas kopi hitam, perbincangan dengan Liputan6.com berlangsung hangat.

"Setelah Dolly ditutup, kemudian yang Jakarta itu apa? Kalijodo? Terus terang merasa waswas juga saya," katanya membuka obrolan.

Mawar adalah seorang pekerja seks komersial (PSK) di resosialisasi Argorejo, atau akrab disebut Sunan Kuning. Ia mengaku oleh pelanggannya disebut anak yatim karena ketika di Semarang ia tak punya ayah atau papi. Hanya punya mami atau ibu.

"Lucu-lucu kok, Mas. Kalau mau ke sini, nyebutnya mau menyantuni anak yatim, ha-ha-ha," Mawar tertawa kemudian menyedot kretek mild-nya dalam-dalam.

Kini Mawar berusia 24 tahun. Ia masuk panti resosialisasi setahun lalu. Pemicunya sederhana, suami yang gemar melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menghilang tanpa pesan apapun.


Di daerah asalnya, Pati, Jawa Tengah, Mawar diberitakan menjadi buruh migran di Taiwan. Setahun sekali ia pulang. Setiap kepulangannya merupakan berkah bagi saudara dan tetangganya.

Mawar kemudian mengungkapkan kegundahan hatinya. Kisah sukses penutupan tempat prostitusi di Silir Solo, Dolly Surabaya, dan terakhir di Kalijodo Jakarta ternyata mengusik ketenangannya.

Bukan cuma Mawar, tapi juga sekitar 300 "perempuan-perempuan yatim" lain di sana.

"Jangan-jangan nanti di semua daerah akan ditutup. Kalau saya sih sudah memiliki tabungan lumayan. Di rumah juga sudah ada toko kelontong, tapi yang baru-baru itu kan kasihan," kata dia.

Tante Linda, sang mami yang di sampingnya, menambahkan bahwa setiap tahun, lebih dari 30 persen anak asuhnya berganti. Biasanya mereka menjadi anak asuh hanya tiga sampai empat bulan. Mawar termasuk lama.

"Mereka kan kita wajibkan menabung. Sehari minimal seratus ribu. Buka rekening sendiri. Ada kok tenaga yang biasa nyetor ke bank," kata Tante Linda.

Kewajiban menabung itu sangat menguntungkan. Kadang ada yang dua hari tidak bisa menabung, tapi ketika banyak tamu, maka tabungan itu akan dirapel. Hasilnya dalam tiga empat bulan banyak yang sudah keluar memulai hidup baru.

Benarkah memulai hidup baru?

"Pamitnya seperti itu. Biasanya saat pamitan mereka akan menunjukkan usahanya di kampung atau di luar. Ada yang sekarang jadi pengusaha punya beberapa salon," kata Tante Linda.

Meski demikian, kadangkala karena merasa sungkan, ada juga yang mengaku sudah memiliki usaha toko kelontong, toko roti, atau salon. Namun kenyataannya, mereka pindah ke lokalisasi lain yang lebih longgar aturannya.

2 dari 2 halaman

Menutup Sunan Kuning?


Surmini yang berada di gang sebelahnya mengaku seperti kebanyakan ibu asuh lainnya, rumah yang dia tempati adalah milik pribadi dengan sertifikat hak milik.

"Yang mau digusur apanya? Kalau menggusur anak-anak kan tinggal mengusir," kata Surmini.

Ia yakin di Semarang kalaupun ada penutupan tempat prostitusi itu, tentu penanganannya akan berbeda dengan Silir, Dolly, ataupun Kalijodo. Para "anak yatim" itu pun sudah dibekali sejak jauh-jauh hari. Bukan hanya dengan keterampilan, namun juga cara menghimpun modal jika ada kondisi darurat.

"Sebenarnya yang kami takutkan bukan persoalan kami kehilangan pekerjaan. Ada masalah yang lebih besar. Soal pengontrolan penyakit menular itu jauh lebih mengerikan," kata Kemuning (samaran) teman Mawar.

Kemuning beda dengan PSK lain. Ia gemar membaca. Liputan6.com ditunjukkan kamarnya yang penuh berisi buku-buku. Mulai dari resep masakan, hingga buku-buku keagamaan.

Kemuning juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti peringatan hari AIDS sedunia, hari bumi, dan lain-lain. Bahkan, ia juga sudah memilah sampah yang bisa didaur ulang dan yang tidak.

"Sampah-sampah yang ini biasanya sering saya kasihkan kalau ada pemulung lewat," kata Kemuning menunjuk kantong plastik besar berisi sampah plastik dan botol-botol minuman.

Meskipun Ketua Resosialiasi Argorejo, Suwandi, sudah tegas akan menolak kedatangan para PSK muka baru pindahan dari lokalisasi lain, ketakutan penutupan itu yang lebih menakutkan. Bukan bertambahnya pesaing.

"Di jalan itu, angkutan umum berbaris. Ada yang jelek, ada yang bagus. Namun semua kebagian penumpang. Kalau soal persaingan saya pribadi menyikapinya seperti itu," kata Kemuning.

Nah, Sunan Kuning Semarang ternyata bukan lokalisasi sebagaimana tempat prostitusi di kota lain. Sunan Kuning sebenarnya sebuah tempat untuk mengajari para PSK menjalani hidup dengan tak sekedar menjual kehangatan. Itulah sebabnya Sunan Kuning menamakan diri resosialisasi, bukan lokalisasi.

Kalijodo effect barangkali akan menginspirasi daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Namun di Semarang andai ditutup, tentu memiliki metode berbeda pula sesuai kultur yang hidup.

PSK atau para "anak yatim" dan para ibu asuhnya itu relatif lebih kompromistis dibandingkan dengan daerah lain. Sunan Kuning menjadi pekerjaan rumah Wali kota Semarang Hendrar Prihadi dan wakilnya, Hevearita G. Rahayu.