Sukses

Perahu Motor Sungai Musi, Riwayatmu Kini

Operator speedboat Sungai Musi bertahan di tengah himpitan biaya dan ancaman perompak laut.

Liputan6.com, Palembang - Sungai Musi di Palembang ibarat Sungai Chao Phraya di Bangkok. Alur sungai yang lebar dan memanjang sangat pas dijadikan andalan warga untuk hilir mudik.

Jalur transportasi air itu tetap menjadi pilihan warga setempat meski berbagai infrastruktur modern dibangun di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).  

Salah satu daya tariknya adalah kemampuannya menghemat waktu, seperti perjalanan Liputan6.com dari Kota Palembang menuju Desa Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel.

Perjalanan ke Kabupaten OKI sebenarnya bisa ditempuh dengan jalur darat dengan waktu tempuh sekitar 5-6 jam. Jalur sungai menjadi pilihan terbaik karena hanya menghabiskan waktu 1,5-2 jam saja.

Pusat transportasi air di Palembang berada di dermaga Plasa Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang, tepatnya di bawah Jembatan Ampera. Sekitar 80 unit speedboat bermuatan delapan hingga 30 orang siap melayani rute antarkota dalam provinsi.

Puluhan speedboat itu sudah mengantre menunggu penumpang sejak pukul 06.00 WIB, tapi mereka baru mulai berangkat sekitar pukul 09.00 WIB.


Operator speedboat melayani beragam rute, seperti ke Desa Air Sugihan, Kabupaten OKI, tapi ke daerah lainnya seperti Desa Sungsang, Karang Agung dan Jalur 8 Telang di Kabupaten Banyuasin. Biaya transportasi yang dikeluarkan cukup Rp 100 ribu per orang.

"Kalau sehari-hari, saya melayani rute Palembang-Banyuasin dalam jarak tempuh 2-4 jam. Tapi sering juga penumpang menyewa speedboat saya untuk diantarkan ke kabupaten lain, seperti Kabupaten OKI. Jadi, seharian saya hanya mengantarkan penumpang yang menyewa speedboat saja," ujar Anang (40), salah satu nakhoda speedboat Palembang, Sabtu (26/3/2016).

Anang menuturkan, speedboat-nya bisa memuat 30 orang penumpang. Untuk sekali perjalanan pulang pergi, ia memerlukan 20 liter bensin yang dicampur dengan 1 liter oli sepeda motor.

Kecepatan kapal dikontrol pada level 40 km per jam. Nakhoda bisa saja menaikkan tingkat kecepatan, tapi laju kapal terlalu tinggi kerap berujung celaka.

Dalam sekali perjalanan pulang pergi, para nakhoda bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp 6 juta. Pendapatan lebih rendah diperoleh jika speedboat disewa untuk sehari penuh dengan biaya Rp 4,5 juta.

Namun, pendapatan itu masih harus dikurangi untuk upah dua awaknya sebesar Rp 300-500 ribu per orang, biaya BBM sekitar Rp 1,5-1,7 juta per hari, biaya jasa parkir kapal sebesar Rp 50.000 hingga biaya perawatan kapal yang harus ditabung.

"Kalau penumpang penuh, kita bisa mengantongi Rp 6 juta. Tapi kalau sepi, 15 penumpang saja sudah cukup, asal bisa bawa pulang uang ganti bensin dan upah awak kapal," tutur Anang.

2 dari 3 halaman

Terpengaruh Harga Komoditas

Meski populer, operator speedboat ini tidak selalu beroperasi. Melaju tidaknya mereka ternyata dipengaruhi pula harga karet dan sawit di daerah.

Sumsel memang terkenal akan produksi sawit dan karetnya yang tinggi. Jika sedang panen, banyak penumpang yang hilir mudik menggunakan jasa angkut speedboat. Biasanya terjadi sepanjang Januari hingga Juni.

Speedboat andalan warga Palembang menjangkau daerah pedalaman di kabupaten lain. (Liputan.com/Nefri Inge)

Sebaliknya, jumlah penumpang menurun drastis jika kebun belum panen atau harga karet dan sawit anjlok. Bulan-bulan sepi penumpang itu biasa terjadi sepanjang Juli hingga Desember.

Jika itu terjadi, puluhan speedboat terpaksa diparkir karena jumlah penumpang yang minim. Nakhoda seperti Anang memilih berhenti beroperasi daripada harus merugi karena pendapatan tidak menutup biaya operasional.

Selain harga komoditas, Anang juga menuturkan perbaikan sarana transportasi darat dan banyaknya kendaraan pribadi juga menurunkan jumlah penumpang speedboat.

Ia mengaku semakin terjepit jika harga BBM naik. Pasalnya, tarif penumpang tidak bisa serta merta dinaikkan yang berimbas pada merosotnya omzet usaha transportasinya.

Belum lagi biaya perawatan. Anang menyebutkan, kayu kapal jenis meranti harus diganti setahun sekali. Perawatan itu tak bisa ditawar-tawar karena kualitas kayu meranti memburuk dan rapuh selama setahun penggunaan.

"Tarif belum sesuai dengan kenaikan BBM. Maunya kita begitu BBM naik, tarif penumpang juga naik. Tapi tidak bisa, kami harus tetap bertahan dengan tarif yang stabil," aku bapak tiga anak itu.

3 dari 3 halaman

Diincar Perompak


Selain persoalan biaya, operator transportasi sungai juga harus berhadapan dengan persoalan keamanan. Sampah di Sungai Musi, misalnya. Anang mengatakan, laju speedboat sering terhenti gara-gara sampah menyangkut di baling-baling mesin. Hal itu tak jarang menimbulkan kecelakaan saat mengangkut penumpang.

Gangguan keamanan juga datang dari para perompak laut. Mereka mengincar tak hanya harta benda penumpang, tetapi juga milik nakhoda dan mesin kapal. Kejadian itu sering menimpa para pemilik speedboat kecil.

Walau begitu, tidak ada patroli polisi air di sepanjang rute operasi speedboat. Mereka hanya dibantu pihak kepolisian jika sudah terjadi perampokan.

Sungai Musi jadi jalur transportasi warga untuk hilir mudik. (Liputan6.com/Nefri Inge)

"Perompak menyamar menjadi penumpang, harta benda penumpang lainnya maupun nakhoda dan awaknya juga dirampok. Mesin kapal juga sering diambil, jadi kapal mereka terombang-ambing ditengah sungai. Barulah saat kapal lain datang, mereka bisa dievakuasi," ungkap Anang.

Kendati dihadang kendala, Anang dan puluhan nakhoda lainnya tetap memilih setia melayani para penumpangnya. Ada harapan di tengah keterbatasan yang mereka miliki agar pemerintah juga turut memerhatikan kesejahteraan dan keselamatan mereka.

"Kita berharap pemerintah juga peduli dengan kita, karena hidup kami hanya tergantung dari jasa transportasi ini. Tidak setiap hari kami mengantongi pendapatan, tapi kami tetap bertahan dengan pekerjaan ini selagi aliran Sungai Musi masih terus mengalir," harap Anang.

Video Terkini