Sukses

Banyak Pria Dewasa di Papua Belum Sunat, Ini Sebabnya

Hanya di daerah kepala burung Papua budaya sunat diakui oleh masyarakat setempat.

Liputan6.com, Jayapura - Perbedaan pandangan budaya dan agama menjadi sebab banyaknya pria dewasa di Papua belum melakukan sunat. Masyarakat di Papua pun tak menganggap penting adanya sunat ini.

Richard Mayor, lelaki asal Biak Numfor salah satunya. Walaupun sudah berusia 30 tahun, Richard menganggap ajakan sirkumsisi atau sunat gratis yang gencar dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua sejak enam tahun lalu bukan hal yang utama.  

"Sunat bukan budaya kami. Dari agama yang saya anut, yakni Kristen Protestan, juga tak mengharuskan hal itu," katanya, Rabu (6/4/2016).

Menurut Richard, ajaran yang dianutnya hanya menekankan pada tiga hal, yakni baptis, pendewasaan iman atau CD, dan juga pernikahan kudus.

"Jika memang KPA mau mengajak kami untuk sirkumsisi sukarela, silakan duduk bersama dengan sinode gereja dan menghasilkan suatu aturan baru untuk mengharuskan kami sunat. Jika selama ini tak ada aturan itu, ya kami menganggap biasa saja ajakan sunat ini," ucapnya.    

Sekretaris KPA Papua Constant Karma menyebut masih menjadi tugas KPA untuk mengajak lelaki di Papua melakukan sunat atau sirkumsisi sukarela, terutama di daerah pegunungan dan wilayah lainnya di Papua. 

KPA Papua mengklaim daerah sekitar Kota Jayapura, yakni Keerom, Sarmi, dan Kabupaten Jayapura telah menerima secara utuh manfaat dari sunat.

"Kami mengajak laki-laki di Papua untuk sirkumsisi guna penekanan kepada kebersihan dan kesehatan, tak ada faktor lainnya," ia menjelaskan.

KPA Papua menyebutkan hanya di daerah kepala burung, budaya sunat diakui oleh masyarakat setempat. Selebihnya, ditempat lain budaya sunat di Papua tak pernah ada.

Tak mudah mengajak sunat para lelaki di Papua. Sosialisasi selama 6 tahun oleh KPA Papua selalu ditolak oleh pihak gereja. Saat sosialisasi tentang pentingnya sunat di Papua, KPA terus mengalami benturan dan pihak gereja dan budaya setempat. Tetapi lambat laun, pemahaman tentang pentingnya sunat sedikit demi sedikit mulai dipahami.

"Kami tetap menekankan sirkumsisi di Papua untuk kepentingan kesehatan dan kebersihan. Jangan dicampuradukkan dengan budaya dan agama," ucapnya.

Sunat mulai diterima oleh masyarakat Papua salah satunya ditandai dengan dibukanya layanan pusat sirkumsisi pria sukarela yang membuka layanan setiap hari Selasa, Rabu, dan Jumat.   

"Sosialisasi tetap kami lakukan sampai saat ini dengan melibatkan pihak gereja, tokoh adat dan perempuan. Di dalam sosialsisasi itu, KPA juga anti menggunakan kata sunat sebab akan dimaknai berbeda oleh masyarakat Papua. Sehingga kami selalu mengganti kata sunat dengan kata sirkumsisi," katanya.

Pada sirkumsisi tahap awal yang dilaksanakan Juni tahun lalu, sudah ada 411 orang yang sukarela disirkumsisi. Penyebarannya mulai dari Jayapura, Wamena, dan Paniai. Lalu, dalam tahapan kedua ini sudah ada 90-an orang.

"Kami terus membuka layanan ini, yang penting harus dengan sukarela tanpa paksaan," katanya. 

Banyak pria dewasa di Papua belum sunat (Liputan6.com / Katharina Janur)

Perempuan  Mendukung Sunat

Pelaksanaan sirkumsisi di Papua tak lepas dari peran perempuan atau pasangan dari si laki-laki. Sebab selama ini pihak yang selalu dimintai tanggapan untuk sirkumsisi adalah dari pasangan itu sendiri.

"Banyak pria yang melakukan sirkumsisi diantar langsung oleh pasangannya. Ini kan bukti adanya dukungan penuh dari pihak perempuan," katanya.

Kadangkala niat laki-laki untuk melakukan sirkumsisi juga didasari oleh permintaan atau pengaruh dari pihak perempuan. "Makanya di dalam  sosialisasi itu kami juga mengajak perempuan untuk memahami pentingnya sirkumsisi," katanya.  

Papua merupakan provinsi pertama di Indonesia yang menggunakan sirkumsisi dengan alat prepex, selain di Afrika dan negara lain. Animo masyarakat Papua mulai berkembang dengan pentingnya kebersihan ini. Setiap hari KPA Papua bisa melakukan sirkumsisi dengan melibatkan 50-60 orang.

Video Terkini