Sukses

5 Fakta Geliat Nakal Cewek Kinjeng Semarang

Cewek kinjeng adalah sebutan bagi para kupu-kupu malam jalanan di Semarang.

Liputan6.com, Semarang - Keberadaan cewek kinjeng menjadi fenomena tersendiri di Semarang, Jawa Tengah. Para perempuan pekerja seks komersial jalanan itu biasa mangkal di kawasan Jalan Imam Bonjol.

Di kawasan itu, mereka mangkal menyebar mulai dari depan Stasiun Poncol hingga memasuki Jalan Tanjung dan Jalan Pemuda. Lokasi itu dianggap strategis karena terdapat hotel melati bertarif Rp 100 ribu-150 ribu yang bisa disewa tiga jam saja.

Selain hal itu, berikut lima fakta lain terkait aksi nakal cewek kinjeng Semarang, sebutan bagi perempuan kupu-kupu malam.

1. Selalu bermotor

Para PSK yang tergolong cewek kinjeng selalu mengendarai sepeda motor saat mangkal. Mereka kadang bergerombol, kadang nongkrong sendirian.  

Tanpa ragu dan malu, mereka memarkir sepeda motornya di pinggir jalan sambil menggoda dan menunggu pria nakal menghampirinya.

"Sepeda motor membuat lebih leluasa. Sewaktu-waktu ada razia, kami gampang kabur," kata Menur, salah satu cewek kinjeng kepada Liputan6.com.

Selain agar mudah kabur, pemakaian sepeda motor dimaksudkan sebagai penguat memasang tarif tinggi. Berapa tarifnya?


Menurut Vina, jika tak bermotor tarif mereka paling rendah Rp 150 ribu sekali kencan, belum termasuk kamar hotel. Namun ketika sudah memanfaatkan sepeda motor, tarif paling rendah bisa Rp 250 ribu.

2. Diantar dan diawasi suami

Fenomena paling wow di balik beroperasinya cewek kinjeng ini adalah restu dari suami. Sebagian memang suami siri, sebagian hanya pacaran. Namun, ada pula yang benar-benar suami resmi tercatat di KUA.

Menur misalnya. Setiap kali bekerja ia selalu diantar dan diawasi Anggodo, sang suami. Pasangan suami istri ini bahkan tanpa sungkan mengaku ikhlas tubuh pasangannya dinikmati orang lain, karena percaya hatinya hanya untuk mereka masing-masing.

"Meskipun saya juga tahu selain dengan saya, suami saya juga tidur dengan teman-teman saya. Tapi saya percaya itu hanya tubuhnya," kata Menur.

Dari hasil kolaborasi itu, mereka saat ini bisa membeli sebuah rumah dan toko kelontong di kampungnya di Jepara, Jawa Tengah.

3. Laris Saat Ada Perhelatan Politik

Selain momentum Lebaran, perhelatan politik juga menjadi musim laris bagi para cewek kinjeng ini. Vina menjelaskan ketika ada perhelatan politik, baik pilkada maupun kongres partai atau apa pun namanya, ia kebanjiran order.

Saat-saat seperti itu, biasanya Vina memanfaatkan jaringannya. Seorang satgas partai yang menjadi pelanggannya selalu membantunya. Komisinya maksimal 20 persen. Itu sudah cukup besar karena tarif saat musim ini dinaikkan minimal Rp 500 ribu.

"Teman satgas tadi kadang enggak mau diberi komisi, tapi minta kelon semalaman. Asal enggak mabuk enggak papa," kata Vina.

Selain dirinya, Vina juga mengajak teman-temannya yang masih muda atau maksimal 24 tahun untuk melayani perhelatan politik. Meski demikian, ia mengaku rata-rata yang menggunakan jasanya saat perhelatan politik hanyalah politikus-politikus rendahan sekelas pengurus kecamatan.

"Kalau pas pilkada kan duit mereka banyak. Lebih royal. Saya saja dibelikan motor Mio, kok," kata Vina.

2 dari 2 halaman

4. Berjumlah ratusan dan tersebar

Menur juga mengaku pernah merasakan dermawannya para politikus rendahan itu. Namun, ia mengaku kapok melayani para politikus karena harus check in di sekitar Bandungan, obyek wisata pegunungan yang berjarak sekitar 20 km dari Semarang.

"Suami juga tak mengizinkan. Meskipun kadang semalam bisa melayani sampai 10 orang dengan tarif minimal Rp 500 ribu," kata Menur.

Kadangkala, Menur maupun Vina juga harus melayani pegawai negeri rendahan saat bos-bos mereka mengadakan rapat lembur. Biasanya saat pemerintah mengadakan kegiatan besar.

"Seperti HUT kota, acara pesta rakyat, dan sejenisnya. Tapi, kalau pegawai negeri maunya gratisan dan kalau membayar murah," kata Menur.

4. Berjumlah ratusan dan tersebar

Jumlah pastinya memang sulit dicatat. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang memperkirakan jumlahnya mendekati 300 orang pada 2014. Data statistik itu diambil dari catatan ketika Satpol PP menggelar razia.

Meski demikian, jumlah itu tidak membedakan PSK yang termasuk cewek kinjeng atau PSK biasa. Angka 300 orang adalah angka gabungan.

"Jika untuk menangani secara tuntas, sebaiknya memang dibedakan. Jadi, akan diketahui mana yang alasan ekonomi mana pula yang karena gaya hidup," kata Ari Istiyadi, aktivis Griya ASA yang lekat dan konsisten mendampingi para PSK.

5. Korban ketidakadilan

Fenomena cewek kinjeng ini berdasarkan analisis Ari Istiyadi adalah manifestasi ketidakadilan dan kegagalan negara mengelola diri. Pendidikan mahal, lapangan kerja formal sangat terbatas, kreativitas dan kemandirian tidak difasilitasi, sehingga ada kaum perempuan yang dengan sengaja melacurkan diri.

Mereka melakukan itu baik untuk bertahan hidup maupun untuk memenuhi gaya hidup agar sesuai dengan perkembangan zaman. "Negara ikut berperan menciptakan prostitusi di jalanan ini," kata Ari Istiyadi.

Video Terkini