Liputan6.com, Jakarta Menyusuri Kota Malang, Jawa Timur, ibarat bernostalgia kembali ke tempo dulu. Di berbagai sudut kota apel ini bertebaran bangunan cagar budaya berarsitektur kolonial Belanda hingga situs purbakala berupa candi.
Deretan rumah bergaya arsitektur Belanda itu bisa ditemui di kawasan Ijen Boulevard. Sayangnya saat ini hanya tersisa sekitar 20 unit rumah di kawasan yang dirancang oleh Ir Herman Thomas Karsten pada 1914 silam.
Padahal dahulu ada 80 unit rumah yang diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan para pembesar kolonial Belanda.
Nasib malang cagar budaya itu tak hanya di kawasan Ijen Boulevard saja. Banyak bangunan cagar budaya yang kini telah berubah bentuk menjadi rumah toko, perkantoran, dan sebagainya setelah direnovasi total. Bahkan ada pula yang musnah setelah dihancurkan total untuk kemudian dibangun ulang menjadi bangunan modern.
Baca Juga
Ketiadaan peraturan daerah (perda) untuk melindungi dan melestarikan bangunan cagar budaya, menyebabkan alihfungsi gedung menjadi ancaman nyata. Padahal, tak sedikit cagar budaya di Kota Malang masuk kategori klas A karena usia bangunan dan nilai historisnya.
Advertisement
Tentunya, jika pemerintah kota sampai abai, terkait keberadaan bangunan bernilai sejarah tinggi itu terancam hilang tergerus pesatnya pembangunan.
"Banyak bangunan yang berubah bentuk karena alih fungsi. Ini disebabkan pemerintah kota Malang tidak memiliki perda yang melindungi cagar budaya," kata Ketua Yayasan Inggil Malang, Dwi Cahyono, Senin 11 April 2016.
Baca Juga
Yayasan Inggil pernah melakukan studi dokumen peninggalan Belanda dan pendataan langsung terhadap cagar budaya dan situs purbakala di Kota Malang. Hasilnya, ada 180 cagar budaya dan situs purbakala di kota ini. Namun jumlah yang ada saat tak sampai angka itu.
Misalnya gedung Societiet Concordia yang dibangun sekitar tahun 1900-an. Di masa kolonial Belanda, gedung ini menjadi tempat bersosialisasi kaum kolonial, dan kini bentuknya berubah total setelah menjadi sebuah tempat pusat perbelanjaan.
Cagar budaya yang relatif masih terjaga adalah gedung yang dimiliki oleh instansi pemerintah maupun pendidikan.
Semisal gedung Sekolah Rakyat Cina atau Hollandsch Chinesche School yang dibangun sekitar tahun 1927 sekarang menjadi Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN) Malang.
Serta gedung Bank Indonesia Wilayah Malang, relatif tak banyak berubah dari aslinya yang dahulu digunakan sebagai gedung De Javasche Bank di Malang pada 1916.
"Alih fungsi bangunan karena tidak ada payung hukum yang melindunginya. Nanti kalau semua sudah hilang, baru pemerintah kebingungan," ucap Dwi yang juga pendiri Museum Malang Tempo Doeloe ini.
Selain harus ada produk hukum berupa perda yang melindungi cagar budaya dan situs purbakala, Pemkot Malang seharusnya juga membentuk Tim Ahli Cagar Budaya.
Ini adalah amanat UU nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tim ahli itu bisa memberikan masukan terhadap pemkot tentang bagaimana memperlakukan bangunan cagar budaya.
"Agar bangunan itu tetap terjaga sesuai bentuk aslinya meski telah dimiliki oleh swasta," ungkap Dwi.
Pemkot Malang sendiri sudah pernah melakukan pendataan cagar budaya dan situs purbakala dibantu oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur pada 2010 – 2013 silam.
Saat itu berhasil diinventarisir sebanyak 130 bangunan cagar budaya dan situs purbakala. Meski pendataan telah selesai, belum juga disiapkan perda sebagai tindak lanjut perlindungannya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, Ida Made Ayu Wahyuni mengatakan, perda cagar budaya telah disiapkan dan terus dipertajam detilnya dengan melibatkan banyak akademisi.
"Sudah kami sampaikan ke legislatif sejak awal tahun ini. Tinggal menunggu pembahasan untuk mempertajam detil dalam draft perda itu," tutur Ida.
Setelah pendataan, sambung dia, Pemkot juga fokus pada pemilahan kewenangan pengelolaan cagar budaya. Yaitu mana yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah pengelolaannya. Ini juga berkaitan dengan izin penggunaan bangunan.