Sukses

Mitos Samin Surosentiko Tak Bisa Mati

Samin terus hidup dalam wujud praktik nilai dan ajarannya.

Liputan6.com, Semarang - Samin Surosentika hingga kini tak diketahui makamnya. Dalam sejarah lisan, beredar kabar ia meninggal di Sumatera Barat, konon setelah Belanda menangkap dan membuangnya ke Digul dan Padang.

Dari penelusuran Liputan6.com, jenazah Samin Surosentika dimakamkan di pekuburan orang rantau di Tanjung Putri, Sawahlunto, Sumatera Barat. Makamnya tanpa nama hanya angka-angka. Untuk itu, butuh pembuktian ilmiah untuk memastikan makam Samin Surosentika.

Terlepas dari keberadaan makam Samin yang misterius, ternyata di sejumlah lokasi beredar mitos Samin tidak pernah mati. Itu pula sebabnya Belanda membuangnya ke Digul dan Padang karena Samin tak bisa dibunuh di tanah Jawa.

Gunawan Budi Susanto, budayawan dan penulis asal Blora yang masa kecilnya dihabiskan bersama masyarakat Samin, menyebut bahwa mitos itu menandakan Samin akan tetap hidup.

"Menggunakan logika saat ini, yang dimaksud Samin jelas bukan Samin sebagai sosok. Namun apa yang diajarkannyalah yang tak bisa dibunuh," kata Kang Putu, panggilan akrab Gunawan Budi Susanto, kepada Liputan6.com, Kamis (14/4/2016).

Sementara itu, sejumlah orang menyebutkan hingga kini di Riau orang masih bisa melihat  kemunculan wajah Samin di beberapa rumah makan Padang.  Seorang perwira polisi pernah mengirim pesan singkat kepada Liputan6.com yang menyebutkan bahwa ia melihat foto Samin di rumah makan Padang di sana.

"Pernah ditanyakan foto siapa?"

"Dulu awal tugas saya pernah bertanya itu foto siapa. Namun tak ada yang bisa menjelaskan. Anehnya, mereka percaya dengan memajang foto itu rumah makan mereka akan selamat dan diberkahi," kata perwira polisi yang kini tugas di Polda Riau itu melalui pesan WhatsApp.

Kepada teman tadi, si pemilik restoran bercerita bahwa dulu pernah terjadi kebakaran besar. Namun, rumah makan yang memajang foto Samin bisa selamat.

"Dia cerita semangat banget. Bahkan bilang wajah di foto itu pernah ke Tanah Suci dengan naik tikar," kata perwira itu lagi.

2 dari 2 halaman

Lugu, Jujur, Naif, Gila


Sejauh ini, persepsi banyak masyarakat masih menganggap Samin Surosentika adalah pelopor ajaran sesat. Meski demikian, makin banyak orang menyadari bahwa persepsi mereka salah.

"Nama Samin Surosentiko memang tidak pernah ada di buku sejarah Indonesia. Kalaupun ada, orang yang pernah mendengar soal Samin, mereka sudah tercuci otak. Coba tanyakan, rata-rata mereka akan menganggap bahwa wong Samin itu berarti orang gila," kata Kang Putu.

Dalam berbagai literatur yang ada, terminologi "wong Samin" sempat berkonotasi negatif. Yang mengembuskan tak lain adalah penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia sendiri. Sebab, ajaran Samin Surosentiko selalu menentang segala jenis kesewenang-wenangan.

Pada era Belanda, pengikut Samin alias wong Samin selalu menolak membayar pajak dan memberi upeti. Mereka juga menentang penjarahan tanah leluhur untuk dijadikan perkebunan jati oleh Belanda.

Kesal dengan ulah ini, Belanda menyebarkan kabar bahwa pengikut Samin yang tersebar di Blora, Pati, Bojonegoro, Rembang, Kudus, adalah orang gila. Tujuannya agar rakyat lain tidak mengikuti ajaran mereka.

Apakah tuduhan itu berhenti saat Belanda meninggalkan Indonesia?

Ternyata, hal itu ini terus berlanjut. Ketika kebun jati di sekitar Blora dan Pati berganti kepemilikan, yakni dari Belanda ke Perum Perhutani milik pemerintah, perusahaan itu berusaha mengekspansi lahan warga sekitar.

Sikap pengikut Samin tetap sama. Mereka menolak tanah leluhur mereka dikuasai pemerintah. Lantas, kembali dihembuskan bahwa Samin adalah orang gila dan pengikutnya adalah orang tolol. Lama-kelamaan, istilah "wong Samin" identik dengan orang gila dan tolol.

"Dasar Samin kowe!" (dasar orang Samin!)  adalah contoh makian yang dipakai untuk menghancurkan kredibilitas para pengikut Samin. Para Saminista ini akhirnya memilih istilah yang lebih bersahabat, yakni sedulur sikep atau wong sikep.

Wong sikep berarti orang yang memiliki sikap. Sikap yang dipilih adalah baik dan jujur.

Kang Putu bercerita ia pernah mencari tahu tentang sikap naif warga Samin. Salah satunya dalam persoalan membayar pajak. Menurut dia, 40 atau 30 tahun lampau, bisa jadi warga Samin masih menolak membayar pajak atau kerja bakti.

Dengan kerendahan hati perangkat desa menggunakan "tembung sing pener" (istilah yang tepat), mereka bisa mengambil hati warga Samin.

"Perangkat desa tak akan meminta mereka membayar pajak tanah. Perangkat akan ngomong 'njaluk dhuwit kanggo mbangun desa' (minta uang untuk membangun desa). Dengan kalimat itu warga Samin ikhlas memberikan uang senilai yang tertagih," kata Kang Putu.

Bahkan uang yang disetor sering melebihi tagihan. Saat ini mereka sangat proaktif. Kewajiban membayar pajak, misalnya, kerap kali mereka tunaikan bahkan ketika warga lain belum sempat memikirkan. Bahkan ketika surat tagihan PBB belum terbit.

Mereka juga terlibat aktif dalam kerja bakti, gotong royong, sambatan, membangun apa saja, bagi kepentingan bersama. Mereka kini sudah lebur, membaur, dengan keseluruhan warga masyarakat.

"Sulit membedakan mereka dari warga lain. Karena itulah tak tahu lagi berapa jiwa anak keturunan orang Samin yang tinggal di Klopoduwur," kata Kang Putu.