Liputan6.com, Manado - Suasana di Pengadilan Negeri (PN)Â Manado terlihat lebih ramai dari biasanya pada pertengahan 2005. Hari itu, ada agenda putusan kasus gugatan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) terhadap aktivis lingkungan, Rignolda Djalamaludin.
Rignolda dituduh mengeluarkan pernyataan di media masa tentang munculnya penyakit minamata akibat aktivitas PT NMR. Pada saat hakim menyatakan Rignolda kalah dan harus membayar sejumlah uang, masyarakat Buyat langsung histeris dan riuh di ruang PN Manado.
Di tengah kericuhan, seorang perempuan tampil di tengah kerumunan masa, mengambil megaphone, dan mencoba menenangkan warga yang hadir. Tiba-tiba, seseorang berbaju hitam mencekik perempuan itu dengan pentungan dari belakang. Sesak napas, wanita berbadan gempal itu berontak dan menarik baju polisi di sebelahnya untuk meminta pertolongan.
Menyadari kondisi genting, polisi memukul si pria berbaju hitam itu. Laki-laki itu langsung menghilang di antara kerumunan orang yang masih kacau balau di dalam ruangan sidang.
Baca Juga
"Saya tak bisa mengejarnya karena harus menolong ibu-ibu dari Buyat yang terus histeris, bahkan ada yang pingsan. Tapi saya tahu, mereka itu adalah pihak pengamanan dari PT NMR, kelompok paramiliter yang berkedok pasukan adat," tutur Jull Takawiuang, perempuan tercekik itu, mengenang peristiwa yang terjadi lebih dari satu dekade lalu kepada Liputan6.com, Kamis (14/04/2016). Â
Kisah tadi hanya satu dari sekian banyak ancaman kekerasan fisik maupun verbal, bahkan pelecehan yang dialami Jull. Namun, semua itu tak menggoyahkan Jull dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang tertindas.
Hampir dua dasawarsa, perempuan kelahiran Desa Menggawa, Kecamatan Tamako, Kabupaten Kepulauan Sangihe ini memilih di jalur hidup menjadi aktivis lingkungan dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Akibat aktivitasnya itu, Jull sempat mencicipi tahanan rumah selama empat bulan.
"Saat itu, saya sedang menangani kasus perusahaan tambang di Minahasa Utara (Minut) yang tanpa izin memarkirkan kapal dan menggunting tali kapal nelayan. Saya dituduh sebagai menghasut warga sehingga membakar sebuah pos kecil," tutur Jull.
Saat menjadi tahanan rumah, jiwa perjuangan Jull ternyata tak berhenti. Selain memberi penguatan, dia juga fokus pada persiapan-persiapan persidangan yang sedang dijalani. Untuk menghilangkan kejenuhan, ia sengaja menanam jagung di samping rumahnya.
"Saya tetap memberikan penguatan pada masyarakat yang selalu datang menjenguk saya," ucap Jull.
Jull bukan hanya piawai berstrategi di lapangan dan mengorganisasi massa. Ia juga tak segan menempuh jalur hukum, seperti menolak tambang di Pulau Bangka, Kabupaten Minahasa Utara.
Namun, jalur itu seringkali membuat hatinya kecewa. Ia banyak menemukan ketidakhadiran dan keberpihakan negara pada rakyat kecil.
"Putusan Mahkamah Agung sudah jelas memenangkan gugatan warga yang menolak tambang. Namun, ternyata aktivitas pertambangan masih tetap jalan," ujar Jull yang ikut mendampingi warga Pulau Bangka melayangkan gugatan menolak beroperasinya tambang biji besi milik sebuah perusahaan Tiongkok.
Advertisement
Penghargaan dari PBB
Kini, 18 tahun sudah ia menjalankan kerja-kerja advokasinya. Jull tak pernah menyangka apa yang dilakukannya selama ini mendapat perhatian. Ia bahkan diganjar penghargaan N-Peace Award 2015 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
N-PEACE atau Engage, Community and Empowerment merupakan sebuah inisiatif multi regional yang beranggotakan delapan negara, yakni Nepal, Indonesia, Srilanka, Timor Leste, Afganistan, Filipina, Pakistan dan Myanmar. Inisiatif itu terbentuk pada 2010 oleh para perempuan pegiat perdamaian dalam memperingati 10 tahun pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Jull, Alumnus Fakultas Sastra, Universitas Sam Ratulangi Manado ini, menerima penghargaan N-Peace Award 2015 dari United Nations Development Program (UNDP) dengan kategori Untold Story di Markas Besar PBB , New York, 23 Oktober 2015 lalu. Sejumlah nama besar yang sempat masuk nominasi N-PEACE Award 2015 diantaranya Eva Bande, pejuang agraria dari Sulawesi Tengah.
Saat ditemui di rumahnya, perempuan 46 tahun itu mengaku bersyukur bisa meraih penghargaan dari PBB. Apalagi, dia satu-satunya wakil Indonesia yang menerima penghargaan tersebut.
"Saya sangat bersyukur, ini tidak terjadi begitu saja. Saya bangga mewakili Indonesia. Ini tidak saya duga. Selama bekerja, saya tidak berharap mendapat penghargaan," ujar Jull sambil tersenyum.
Direktur Eksekutif Yayasan Suara Nurani Minaesa ini mengatakan keikutsertaannya dalam N-Peace award berkat dorongan dan motivasi temannya. Bersama sekitar 100 orang lainnya dari berbagai negara di Asia, Jull melewati tahap penggalangan dukungan.
"Galang dukungan agak susah karena harus lewati tiga tahap dan diakhiri dengan verifikasi email," ujar dia.
Jull mengatakan penghargaan yang diraihnya berkat dukungan masyarakat Indonesia, terutama yang peduli dengan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Saat itu, istri Didi Koleangan itu tidak didampingi pemerintah Indonesia.
"Pemerintah pasti tahu saya menerima penghargaan ini, karena sempat diberitahu oleh Kementerian Desa kemungkinan Dirjennya akan ikut," kata Jull.
Namun, kekecewaan Jull karena tak didampingi pemerintah terobati saat di New York, dia bertemu dengan Presiden Joko Widodo. "Respon Pak Jokowi bagus sekali. Saya tak menyangka, mendapat tanggapan positif dari presiden," ujar Jull yang hingga kini menagih janji Jokowi untuk menolak tambang yang merampas tanah adat warga.
Ibu Garth Imanuel Koleangan itu menegaskan tidak mudah menjadi seorang aktivis. Namun, dia mengaku susah melepaskan diri dari persoalan masyarakat.
"Tujuan saya bukan untuk terkenal, menolong orang saja sudah cukup membahagiakan. Saya tidak tahu kenapa memilih menjalankan kehidupan ini dengan mengerahkan seluruh pikiran, tenaga, umur, pikiran dan segala yang saya miliki," tutur Jull.
Bertahun-tahun bergelut sebagai aktivis dan membantu orang menyelesaikan berbagai konflik, tak membuat Jull lupa akan kodratnya sebagai seorang perempuan. Sebagai seorang istri dan ibu, Jull selalu berusaha membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.
"Saya bersyukur aktivitas saya didukung keluarga. Suami dan anak sangat mendukung. Kalau saya keluar, suami cuma tanya kapan pulang," kata Jull sambil tersenyum.
Bagi Garth, anaknya, Jull merupakan sosok ibu yang tegas dan disiplin. "Semoga mama tetap berjuang. Bangga punya mama yang peduli terhadap banyak orang," kata Garth.
Didi, suami Jull pun memberikan dukungan yang sama. Menurut dia, walaupun disibukkan dengan berbagai aktivitas, istrinya tak melupakan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu.
"Bangga dengan keberhasilan istri saya. Ini bukan keberhasilan dia pribadi tapi semua stakeholder yang turut membantu," ujar Didi.
Kini, Jull masih aktif mengadvokasi warga Pulau Bangka yang terus menolak tambang. Selain itu, sebagai Komda Perlindungan Anak Sulut, Jull juga terus ikut mengadvokasi korban kekerasan, pelecehan serta sodomi yang dialami anak-anak.
Rumahnya yang terletak di Kecamatan Malalayang Manado, seolah menjadi rumah aspirasi. Rumah di mana warga yang menuntut keadilan menyampaikan keluhan mereka.
Advertisement