Liputan6.com, Semarang - Kejujuran dan keluguan warga samin seringkali disalahpahami masyarakat umum. Mereka kemudian dianggap bodoh, tolol, atau bahkan sinting. Meski sesungguhnya sikap dan ucapan tersebut karena sangat jujur cenderung naif.
Berikut ini ada beberapa cerita berbasis kisah nyata yang beredar di masyarakat sekitar Blora, Jawa Tengah, yang mengeksplorasi keluguan dan kejujuran warga samin.
(1) Orang Samin pada masa lalu selalu bepergian dengan jalan kaki. Sejauh apa pun mereka akan jalan kaki. Pada suatu saat ada orang Samin dari Blora yang ingin pergi ke Rembang.
Tentu saja itu adalah jarak yang jauh sekali jika ditempuh dengan jalan kaki. Ketika sampai di jalan raya seorang kondektur bus jurusan Rembang menawari orang itu.
"Pak…Rembang nggih? (Pak ke rembang ya)," tanya kondektur.
"Nggih (ya)."
"Lha monggo nitih bis. (Silakan naik bis)."
"Oh…nggih… (Oh iya)"
Dia pun naik bus itu. Tidak lama sang kondektur mendatangi orang Samin itu untuk menarik ongkos.
"Ongkosipun Pak? (Ongkosnya, Pak)."
"Ongkos menapa? (Ongkos apa?)"
"Ya ongkos nitih bis Pak. (Ya bayar untuk naik bus, Pak)"
Baca Juga
Karena suara kondektur keras, semua mata penumpang tertuju pada mereka berdua.
"Njenengan ingkang nawani kulo nitih bis (Kan, tadi Anda yang menawari saya naik bis)."
"Tapi nggih tetep mbayar Pak (Tapi ya tetap membayar). "
"Kulo mboten gadah arto (Saya tidak punya uang)."
"Lek ngoten mandap mriki mawon (Kalau begitu, turun sini saja)."
"Nggih mboten nopo-nopo (Ya tidak apa-apa)."
Sang kondektur memberi aba-aba sopir untuk berhenti. Orang Samin itu siap-siap turun, tiba-tiba ada seorang penumpang yang hendak membayari orang Samin itu. Meski demikian, si Samin menolak.
"Sekeca mlampah mawon, mboten wonten ingkang ngajak tukaran (lebih nyaman jalan kaki saja, tidak ada yang ngajak berantem)," kata si Samin sambil melangkahkan kaki turun dari bus.
(2)
Salah satu bentuk perlawanan kaum Samin dengan Belanda adalah dengan mogok membayar pajak. Syahdan, saat itu ada petugas pajak kebangsaan Belanda yang menagih pembayaran pajak. Namun orang-orang Samin dengan sangat cerdas melawan tanpa kekerasan.
Penagih pajak itu setelah berbicara apa keperluannya, yakni menagih pembayaran pajak, tiba-tiba orang Samin itu malah masuk rumah membawa sekantung uang dan sebuah cangkul.
Merasa terancam, petugas pajak Belanda menyiapkan senjata dan siap menembak. Namun betapa kagetnya setelah melihat si Samin menggali sebuah lubang dan menanam uangnya di depan petugas Belanda itu.
"Bumi sing gawe Gusti Allah. Aku nandur neng bumi. Njupuk asile seko lemah. Dadi aku ra perlu mbayar pajek neng pemerintah, nanging aku mbayar pajek neng lemah. (Bumi itu buatan Allah. Saya menanam di bumi, mengambil hasil bumi dari tanah, jadi tidak perlu membayar pajak ke pemerintah tetapi membayar pajak ke tanah," kata si Samin.
(3)
Warga Samin sangat cinta lingkungan. Mereka hanya mau menebang pohon pada pohon yang ditanamnya. Suatu ketika, Belanda menangkap salah seorang Samin dan memenjarakannya karena kedapatan menebang pohon jati untuk membuat rumah.
Advertisement
Salah seorang Samin lalu datang ke Jakarta dan menghadap Presiden Soekarno, meminta pembenaran, karena yang menanam jati adalah mereka maka mereka berhak untuk menebang guna membangun rumah.
Presiden Soekarno waktu itu mengiyakan dan sang Samin pulang sambil membawa foto Bung Karno, meminta temannya dibebaskan dari penjara.
Jujur atau Konyol
(4)
Ajaran Samin sejatinya adalah kejujuran, tidak mencuri, tidak menebar permusuhan dengan semua makhluk hidup. Tak terkecuali burung-burung.
Suatu ketika ada anak seorang Samin disuruh menjaga padi di sawah oleh seorang lain yang bukan dari komunitas Samin. Ketika orang itu datang dan melihat padinya diserbu ratusan burung pipit dan anak yang disuruh menjaga hanya diam, maka dia marah besar.
"Aku ki mung dikongkon jaga sawah, ora dikongkon ngusir manuk. (Saya hanya disuruh menjaga sawah bukan mengusir burung)," kata si anak Samin.
(5)
Karena sangat akrab dengan alam, orang-orang Samin di masa lalu tak pernah mau memetik buah apa pun sebelum jatuh. Termasuk buah kelapa, meski sejatinya buah kelapa itu sudah layak dipetik.
Selain itu, mereka tak pernah menaruh prasangka kepada orang lain, sehingga selalu siap membantu. Bahkan kepada orang yang tak dikenalnya, ia akan membantu. Kecuali satu hal, merusak alam.
Suatu hari ada pedagang kelapa datang ke perkampungan Samin. Ia hendak membeli kelapa, namun tidak ada. Maka, ia menyuruh seorang anak Samin untuk memetiknya agar bisa dibeli.
"Kowe menek klapa ya. (kamu manjat kelapa ya)," kata si pedagang.
"Ora iso (nggak bisa)," jawab si anak samin.
"Lah apa (mengapa)?" tanya si pedagang.
"Klapa kok dipenek. Sing iso dipenek kuwi wit klapa (kelapa kok dipanjat. Yang bisa dipanjat itu pohon kelapa)," jawab si anak samin.
"Oh ngapurane ya. Ya wis tulung menek wit klapa (oh maaf ya. Ya udah sekarang tolong manjat pohon kelapa ya)," kata si pedagang.
Maka si anak Samin itu bergegas menuju ke sebatang pohon kelapa. Dengan cekatan ia memanjat ke atas. Melihat hal itu, si pedagang tersenyum.
"Sak jam maneh aku mrene. Tak muter dhisik (Sejam lagi saya ke sini lagi. Saya mau keliling dulu)," kata si pedagang.
Satu jam kemudian, si pedagang kembali ke tempat semula. Ia heran tak ada kelapa yang sudah dipetik. Si anak Samin juga tak kelihatan. Ternyata ia sedang asyik tiduran di pelepah daun kelapa yang cukup besar.
"Lah apa kowe neng kana? Kok ora ngopek klapa, ora mudhun? Kebangeten nemen goblogmu (Mengapa kamu masih di situ tanpa memetik kelapa. Juga tidak turun? Kebangetan sekali ketololanmu)" teriak si pedagang.
"Aku mau kon menek wit klapa. Ora kon ngopek klapane. Aku kon menek njur mbok tinggal, ora dikongkon mudhun. Sing kebangeten ki sopo? (Saya tadi disuruh manjat pohon kelapa. Nggak disuruh memetik kelapanya. Juga nggak disuruh turun. Kalau seperti itu, yang kebangetan siapa?)" si anak menjawab.
Cerita-cerita berbasis pengalaman orang-orang berinteraksi dengan itu hingga kini masih beredar dan hidup di masyarakat sebagai folklorewong Samin. Cerita-cerita itu menunjukkan adanya konsistensi antara ucapan dan tindakan warga Samin.
Advertisement