Sukses

Cerita tentang Perempuan yang Berkawan dengan Kematian

Perempuan itu mengidap penyakit lupus, yang dikenal pula sebagai penyakit seribu wajah.

Liputan6.com, Semarang - Seorang perempuan berkacamata sedang membersihkan halaman dengan sapu lidi saat Liputan6.com menyambangi kediamannya. Parasnya cantik dengan hidung mancung dan dagu seperti lebah menggantung. Namun di balik penampilan yang segar ia menyimpan penyakit mematikan di tubuhnya.

Nama perempuan itu Sinto Adi Prasetyorini. Penyakit mematikan yang menyerang tubuhnya adalah lupus, si penyakit seribu wajah. Penyakit itu menyerang sistem kekebalan tubuh yang menjadikan antibodi justru menyerang tubuh pemiliknya. Penyakit kelainan gen ini setara dengan kanker.

Meski begitu, tak ada gurat kesakitan atau beban pada diri Sinto. Ia justru sangat bersemangat menyambut hidup.

"Saya malah sering menemani teman-teman yang sakit parah. Bukan hanya lupus, tapi juga kanker, gagal ginjal, juga kelainan genetika lain yang mematikan. Saya hanya menemani mereka yang berteman dengan kematian," kata Sinto, saat ditanya kesibukannya selepas suaminya, Sukawi Sutarip, lepas dinas dari Wali Kota Semarang, Senin (18/4/2016).

Saat berkumpul dengan teman-temannya, Sinto tak ingin berbagi cerita tentang sakit yang dideritanya. Sinto justru hanya mengajak para sahabat kematian itu optimistis dan bersemangat.

"Justru yang sering ngumpul itu ibu-ibu pensiunan PKK. Mereka kan bukan pegawai negeri yang punya uang pensiun. Tapi karena sudah sepuh, mereka juga berteman dengan kematian," kata Sinto sambil membetulkan duduknya.

Sinto memang sosok unik di Semarang. Saat suaminya masih menjadi Wali Kota Semarang, banyak hal yang digagas Sinto. Salah satunya merintis Rumah Pintar dengan memanfaatkan dana PKK.

Rumah Pintar adalah sebuah tempat berkumpul dan bermain anak-anak. Bukan melulu yang bisa bersekolah, Rumah Pintar akhirnya menjelma menjadi koordinat bagi bertemunya aneka pengetahuan.

"Ide rumah pintar itu kan karena masa kecil saya, rumah jadi tempat main teman-teman. Di sana, kami main sekolah-sekolahan dan pake buku pelajaran beneran," kata Sinto.

Siapa sangka selain menjadi tempat bermain, Rumah Pintar juga menjadi perpustakaan dan bahkan tempat kegiatan ibu-ibu memberdayakan diri. Mulai dari pedagang tempe, tukang becak, seniman, pejabat, bisa menjadi guru di Rumah Pintar.

"Materi tentu tak jauh tentang dunia mereka. Dunia para guru. Bagaimana seorang tukang becak mengajarkan kegigihan dan kesabaran hidup, bagaimana pembuat tempe mengajari prinsip-prinsip membuat tempe yang sehat," kata Sinto.

Tak berhenti, Sinto kemudian menggagas Batik Semarang. Mengajak Umi S. Adisusilo dan sejumlah akademikus sejarah, mereka meriset keberadaan Batik Semarang. Program itu masih bertahan sampai sekarang dan bahkan diikuti kota-kota lain.

Saat di puncak energi itulah, Sinto sakit. Pemeriksaan akhirnya menyimpulkan kalau Sinto terkena lupus. Lupus merupakan penyakit yang terkait dengan kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit autoimun.

"Terjadi apabila terjadi anomali pada sistem dan kerja sel pertahanan tubuh. Harusnya melindungi tubuh dari masuknya kuman atau gangguan eksternal lainnya justeru menyerang tubuh pemiliknya," kata Sinto.

Sinto sempat terpuruk, tapi tak lama. Ia melihat banyak yang menderita sama, tapi tak pernah tahu karena keterbatasan biaya pemeriksaan menyeluruh.

"Dari situlah saya kemudian bergerak, saling menguatkan," kata Sinto.

2 dari 2 halaman

Puisi Kematian


Bagi Sinto dan para penderita lupus, akhirnya kematian menjadi seperti teman atau sahabat. Kematian tidak menyeramkan. Justru mereka bersyukur diberi kesempatan berteman dengan kematian.

"Yang perlu dilakukan hanyalah bermanfaat bagi sesama makhluk hidup. Dari situ kami saling menguatkan," kata Sinto.

Dari saling menguatkan itu, akhirnya menjadi kegiatan yang keren yang lebih produktif dan lebih memperhalus pekerti. Sinto berpesan kepada siapa pun yang sedang berada di sebuah titian dengan jurang di kanan adalah hidup dan jurang di kiri adalah mati melalui sebuah puisi.

"Akhirnya kematian ibarat hujan
Ketika ia akan jatuh
Tak peduli di gunung, di laut, di jalan raya
Atau bahkan di tempat yang tak diduga
Ia akan jatuh juga

Akhirnya kematian ibarat hujan
Yang seringkali membuat repot
Meminta orang berteduh sejenak

Ya kematian akhirnya ibarat hujan
Tanda-tanda memang sering dilihat
Tapi siapa yang tau kapan ia jatuh
Siapa yang tau ia akan langsung deras ataukah hanya merintik"

Menemani kaum jompo

Selain para penderita penyakit yang akrab dengan kematian, Sinto juga berkumpul dengan ibu-ibu jompo. Mereka yang sudah hidup sendirian di rumah diajak mengisi hidup dengan lebih bermakna.

"Seperti puisi Goenawan Muhammad yang berjudul 'Interlude'. Memberi arti pada sesuatu yang sia-sia. Lokan di pantai, apa pun maknanya ia akan tetap di sana. Maka orang hidup itu apa pun maknanya harus dihargai," kata Sinto.

Kini kaum sepuh yang diajak bermain-main oleh Sinto lebih optimistis dan tak lagi kesepian. Meski kegiatannya sepele, hanya membuat tas, ngobrol-ngobrol, masak bersama, itulah yang ternyata dibutuhkan.

"Meski mereka sudah sepuh, saya selalu berpesan, jadilah orang yang selalu dikangeni dan ngangeni, sehingga di mana pun akan merasa butuh dan dibutuhkan," kata Sinto.

Kini, bersamaan dengan momentum Hari Kartini, Sinto menyebut bahwa peringatan itu saat ini sering terpeleset menjadi perayaan. Ada penyederhanaan, yakni sekadar menjadi Hari Berkebaya Nasional.

Sinto menolak jika disebut tak setuju dengan model perayaan tersebut. Hanya saja Sinto mengaku masih banyak kegiatan yang bisa dilakukan yang lebih meningkatkan mutu kemanusiaan.

"Tanpa ada kesetaraan gender, tak mungkin saya bisa seperti sekarang. Pasti suami saya juga akan memasung kreativitas saya. Tapi pemikiran yang disampaikan Kartini akhirnya bisa membuat saya dan jutaan perempuan lain bisa memaknai hidup seperti yang diinginkan," kata Sinto.