Liputan6.com, Purwokerto - Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, melalui Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) setempat akan menata jalur pendakian Gunung Slamet yang melalui Wanawisata Baturraden.
Penataan itu melibatkan komunitas-komunitas yang mengelola wisata minat khusus di sekitar kawasan itu. Keputusan diambil setelah kecelakaan yang menimpa seorang mahasiswa UI pada Minggu, 17 April 2016 lalu.
Baca Juga
Saat kecelakaan terjadi, tim penyelamat mengalami kendala karena alat komunikasi berupa sinyal telepon seluler hilang di atas ketinggian 2.000 meter. Hal itu lantaran belum ada repeater atau menara transmisi.
"Kami akan segera melakukan pendekatan kepada komunitas-komunitas yang mengelola wisata minat khusus di sekitar Baturraden untuk diperkuat manajemen mereka, termasuk alat-alat yang mungkin bisa kita kerja samakan, terutama alat komunikasi," kata Kepala Bidang Pariwisata Dinbudparpora Banyumas, Deskart Setyo Jatmiko di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, seperti dilansir Antara, Rabu (20/4/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dalam beberapa diskusi, kata dia, muncul wacana pemasangan repeater oleh Dinporabudpar Banyumas di lereng Gunung Slamet pada ketinggian di atas 2.000 meter.
Jika tidak bisa, lanjut dia, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dinhubkominfo) Banyumas terkait pemasangan repeater tersebut,termasuk dengan Perhutani selaku pemilik lahan.
"Dari pengalaman enam kali pendakian Gunung Slamet yang pernah saya lakukan, dari batas vegetasi ke puncak (pada jalur pendakian Baturraden) kemiringannya cukup tajam," kata Jatmiko.
Menurut dia, pihaknya akan menyurvei kembali lokasi saat pendakian pada 1 Suro yang bertepatan dengan 2 Oktober 2016 guna mengetahui kemungkinan pemasangan alat pengaman untuk merayap ke kawah yang berada di puncak Gunung Slamet.
Berdasarkan pengalaman, kata dia, areal tersebut sangat licin dan batunya sering bergerak sehingga harus diamankan.
"Hanya saja persoalannya, batu granit yang ada di kawah itu kalau dibor boleh atau tidak, batunya lapuk atau tidak karena di sela-sela batu keluar airnya seperti pasta gigi. Kita akan coba seperti apa nanti pengamanan dari batas vegetasi ke puncak," kata Jatmiko.
Tidak Ada Jalur Resmi
Terkait manajemen pendakian, Jatmiko mengatakan bahwa pihaknya selama ini telah mendekati komunitas yang mengelola pendakian Gunung Slamet melalui jalur Baturraden, yakni Radenpala.
Menurut dia, Radenpala merupakan komunitas yang selama ini mengelola pendakian Gunung Slamet melalui jalur Baturraden meskipun dengan peralatan seadanya.
"Padahal, jalur pendakian yang melalui Baturraden sudah cukup terkenal. Kalau kita lihat, kecelakaan kemarin bukan pada jalur pendakiannya tetapi di batas vegetasi ke atas yang tidak ada tanaman," kata Jatmiko.
Mengenai kecelakaan yang dialami seorang pendaki asal Jakarta, dia mengatakan rombongan yang terdiri atas 13 pendaki tersebut sebenarnya telah didata dan difoto oleh petugas di Posko Komunitas Radenpala.
Bahkan, kata dia, rombongan pendaki tersebut telah ditawari untuk dipandu oleh pemandu lokal, namun mereka tidak mau. Mereka kemudian berangkat sendiri hingga akhirnya salah seorang di antaranya mengalami kecelakaan akibat terjatuh di atas batas vegetasi yang berupa areal pasir dan batu.
"Memang, kalau menggunakan pemandu lokal, mereka harus bayar," kata Jatmiko.
Disinggung mengenai adanya kabar jika jalur pendakian Gunung Slamet yang melalui Baturraden itu bukan jalur resmi, Jatmiko mengatakan bahwa seluruh jalur pendakian yang ada di Gunung Slamet tidak ada yang resmi.
Jalur pendakian hanya terlihat resmi karena adanya pembayaran tiket tanda masuk. Itupun dikelola oleh lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
"Sekarang yang resmi itu bagaimana? Kalau resmi tentunya harus ada sertifikat dari Perhutani, jalur Bambangan (Purbalingga) pun tidak ada sertifikat dari Perhutani," ucap Jatmiko.
Advertisement