Liputan6.com, Jakarta - Peran perempuan Jawa kurang ditonjolkan dalam babad-babad yang menceritakan sejarah tanah Jawa. Mereka umumnya hanya dicitrakan sebagai pemelihara pertalian wangsa.
Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk melanjutkan keturunan. Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford, mengatakan perempuan digunakan untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga terkemuka kerajaan.
Namun, fakta sejarah menunjukkan sebagian perempuan Jawa bukan sekedar pemanis. Salah satunya para prajurit perempuan yang tergabung dalam korps Prajurit Estri Mangkunegaran.
Keberadaan “korps Srikandi” ini terkuak berkat buku harian yang ditulis oleh anggota prajurit estri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegoro I (Raden Mas Said, bertahta 1757-95).
Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2012) mencatat adanya gambaran menarik tentang munculnya Korps Srikandi Surakarta ini.
“Empat puluhan perempuan duduk berbaris di bawah takhta (sunan) dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil [...] harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan.”
Baca Juga
Catatan harian pasukan estri itu telah dikerjakan secara hati-hati oleh Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008 dengan judul Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18.
Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Indonesia dengan judul “Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of A Lady Soldier”.
Buku harian itu terdiri atas 303 lembar kertas kulit kayu dan ditulis di kediaman Mangkunegara I, beraksara Jawa dan sedikit Arab Pegon. Berkat catatan tersebut kita dapat mengetahui peristiwa politik, ekonomi, kehidupan rumah tangga dan sisik melik pasukan Mangkunagaran sekitar 1781-91.
Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (menjabat 1787-91), mencatat korps Srikandi ini pandai menunggang kuda dan mampu menembakkan salvo dengan teratur dan tepat. Peter Carey menambahkan keterampilan korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri.
Tak hanya lihai mempergunakan senjata, laskar perempuan ini juga diajari menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Pada perayaan agama, prajurit perempuan ini juga ditugaskan menari. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta.
Keluwesan dan kecakapan para prajurit estri ini juga memikat Herman Willem Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-11), saat ia mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali dan disuguhkan perang-perangan 40 prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.
Soal pakaian, mereka berseragam layaknya prajuritan. Namun mereka menyalin busana gaya emas maskulinnya, lalu menggantinya dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah.
Tentang imaji pasukan perempuan Mangkunagaran, ada Rubiyah dari Desa Matah—sohor dengan nama Matah Ati. Perempuan inilah yang mendampingi perjuangan gerilya Raden Mas Said melawan VOC. Rubiyah dikenang sebagai panglima korps prajurit estri.