Sukses

Rahasia di Balik Isu Kerajaan Ular Semarang

Aksi tindak lanjut isu kerajaan ular Semarang perlu dicontoh pemangku kepentingan kota lain.

Liputan6.com, Semarang - Temuan ular masuk rumah orang di berbagai daerah memicu kegelisahan warga. Ular-ular baik yang liar maupun ular piaraan lepas begitu mudahnya menyelinap ke permukiman.

Terkait "serangan" ular ini, menarik mencermati kembali fenomena serupa yang lebih masif di Semarang. Di Kota Lumpia itu tercatat pernah ada kejadian banyak ular ke permukiman, memicu isu dan aksi tindak lanjut yang inspiratif.

Pada Februari lalu, munculnya puluhan ekor ular piton berbagai jenis di perkampungan pusat Kota Semarang memunculkan berbagai spekulasi. Salah satunya isu kerajaan ular di bawah kota.

Sebagian masyarakat mengaku pernah mendengar adanya terowongan drainase buatan Belanda yang menghubungkan Lawangsewu-SMAN 1 Semarang-Benteng Pendem. Drainase itulah yang dicurigai sebagai kerajaan ular. Ketika tempat mereka penuh, ular-ular itu keluar mencari habitat baru.

"Saya pernah mendengar ada terowongan di Lawangsewu, Rumah Sakit Kariadi, SMAN 1 dan Benteng Pendem, mungkin karena tak berfungsi lagi," kata Chandra, warga Jalan Anggrek, kepada Liputan6.com, Kamis, 25 Februari 2016.

 


Sejarawan Kota Semarang Jongkie Tio menampik dugaan tersebut. Menurut dia, lorong bawah kota itu belum tentu saluran drainase karena hingga kini belum pernah ditemukan lorong yang saling berhubungan itu.

"Itu semacam mitos saja barangkali. Namun kalau ada yang meyakini ya monggo. Yang pasti bukti keberadaan lorong itu tak ditemukan," kata Jongkie Tio.

Jongkie mengisahkan pengalaman masa kecilnya tinggal di kawasan seputar Simpang Lima. Menurut dia, saat hujan yang menyebabkan banjir, banyak ular berkeliaran. Namun, ia tak menyebutkan hal itu disebabkan karena adanya drainase.

Terdapat beberapa kemungkinan masuknya ular ke dalam rumah. Salah satunya karena tersasar.

Jongkie justru menyalahkan dataran rendah dan ketiadaan drainase yang justru menyebabkan banjir selalu terjadi di kawasan Simpang Lima. Penanganan serius terhadap banjir di kawasan itu baru dimulai pasca-Orde Baru, yakni saat dipimpin Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip.

Sepakat dengan Jongkie, arsitek Unika Soegijopranoto, Tjahjono Rahardjo, juga menyebut lorong bawah tanah di kawasan Simpanglima tidak mungkin ada.

Lelaki yang sedang meneliti sejumlah bangunan kuno di Kota Lama dan planologi peninggalan Belanda itu beralasan sejumlah bangunan yang berdiri di kawasan itu dibangun dalam masa berbeda-beda.

"Dari Benteng Pendem, Lawangsewu, SMA 1, dan RS Kariadi itu membangunnya beda zaman. Beda tahun. Sangat tidak mungkin," kata Tjahjono.

Ia menduga tempat yang disebut lorong itu adalah ruangan semacam bunker. Ia menjelaskan, tipikal bangunan Belanda memang memiliki ruangan itu dan sering dijadikan gudang bawah tanah.

"Selain itu, kawasan Simpanglima kan merupakan rawa-rawa. Saat saya kecil, dikenal sebagai Bayeman. Banyak bayam liar dan kangkung," kata Tjahjono.

Tjahjono juga menepis asal munculnya ular di wilayah itu berasal dari drainase bawah tanah. Menurut dia, bukan saat ini saja daerah itu diserbu ular. Hewan melata itu juga mendatangi kawasan Erlangga yang lokasinya berseberangan dengan Jalan Anggrek.

Perubahan alih fungsi lahan di kawasan Simpang Lima memang diakui sebagai penyebab banjir yang utama. Kawasan ini mulai berkembang dan rawa-rawa serta sawah-sawah menghilang sekitar 1960-an.

"Mungkinkah membangun drainase bawah tanah di bawah sawah-sawah dan rawa? Tidak bukan? Kalau ular itu kemudian keluar sekarang, pasti sisa-sisa ular saat Simpang Lima masih berupa rawa. Nah, ular-ular itulah yang beranak pinak," ucap Tjahjono.

Ia mengungkapkan saat membangun Simpang Lima, rawa-rawa tersebut langsung diurug dengan tanah padas. Teknologi pengurugan saat itu masih manual, sehingga dimungkinkan menyisakan rongga, yang akhirnya menjadi tempat bertahan hidup hewan berdarah dingin itu.

Aura mistis Lawang Sewu yang selama ini terbayang dalam benak pengunjung seakan sirna dengan banyaknya peragawan dan peragawati.

 
Kerja Bakti Operasi Ular

Sementara itu, Ketua Komunitas Reptil Retic's, Azmi (30), mengatakan habitat piton yang hidup di perkotaan biasanya berada di gorong-gorong. Mereka baru akan keluar jika gorong-gorong tersebut tergenang air atau rusak.

"Di sekitar situ kan gorong-gorong banyak. Kemarin hujan deras mungkin banjir, pada keluar. Bisa juga karena habitatnya rusak karena ada pembangunan-pembangunan," kata Azmi, Kamis, 25 Februari 2016.

Azmi menambahkan pada awal tahun merupakan saat telur-telur ular menetas, sehingga jumlahnya cukup banyak. Azmi meyakini di sekitar lokasi itu ada indukan yang berukuran besar.

Ia juga menyatakan kemungkinan ular-ular yang keluar itu semakin berkurang jumlahnya jika sudah ada habitat baru.

"Yang pasti ular piton tidak akan menyerang jika tidak diganggu. Piton itu melilit dan menggigit, tapi tidak berbisa," ucap Azmi.

Terhadap serangan ular, Camat Semarang Tengah, Bambang Suranggono mengatakan langkah cepat harus dilakukan agar warga tidak terus resah. Sejumlah  perangkat mulai dari RT, RW, Lurah Pekunden, dan Camat Semarang Tengah termasuk kepolisian dari Babinkamtibmas serta TNI berkumpul untuk membahas langkah berikutnya.

"Kalau dari Anggrek X nomor 27 itu tanah kosong, banyak tanaman sudah dipotongi dan ratakan kemudian kita buang. Nomor 4, 6, dan 8 untuk pohon dan belukar di sana juga kita tebang," kata Bambang saat rapat di salah satu rumah warga.

Rencananya operasi membersihkan "kerajaan ular" itu akan melibatkan Dinas Pertamanan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. BPBD dan pihak lainnya juga akan membantu dengan peralatan.

"Disbudpar itu juga menangani Kebun Binatang Mangkang, nanti bisa diperbantukan pawang ularnya. Dinas Pertamanan akan bantu untuk menebang ranting besar," kata Bambang.