Sukses

Rahasia Gurihnya Bisnis di Kampung Tempe Malang

Para perajin di kampung tempe Sanan Malang bisa mendapatkan margin berlipat dari inovasinya.

Liputan6.com, Malang - Gapura bertuliskan “Sentra Industri Tempe Sanan” berdiri kokoh seolah menyambut siapa pun yang masuk ke Kampung Sanan Kota Malang, Jawa Timur. Di kiri kanan gapura itu berdiri deretan outlet megah menjajakan keripik tempe.
 
Masuk ke dalam Kampung Sanan, rumah sekaligus berfungsi sebagai outlet lebih banyak dijumpai. Lokasinya strategis, di pusat kota, sehingga membuat kampung ini menjadi tujuan wisatawan yang ingin membeli buah tangan khas berupa keripik tempe.
 
Kampung itu memang dikenal sebagai sentra perajin tempe dan produk olahan berupa keripik tempe. Mayoritas warganya menjadi perajin makanan dari fermentasi biji kedelai ini sejak 1980-an. Dahulu, tempe adalah satu–satunya yang dihasilkan dari industri rumah tangga di kampung itu.

Inovasi mengolah tempe menjadi keripik bermula dari terpaan badai moneter pada 1998. Saat itu banyak usaha warga yang terancam gulung tikar akibat harga kedelai dan mengakibatkan bahan baku utama tempe melambung tinggi tak terbeli. Tak sedikit perajin di masa itu frustrasi. Apalagi menjual tempe ke pasar tradisional di sekitar Malang adalah mata pencaharian utama mereka.

"Harga tempe di pasar saat itu mahal. Banyak konsumen yang memilih berhenti tak membeli tempe. Tempe banyak teronggok di rumah tak laku dijual," kata Hidayat Wicaksono, seorang perajin keripik tempe Sanan, Jumat (22/4/2016).
 
Hidayat dibesarkan oleh keluarga perajin tempe. Ayah kandung sampai pamannya membuat tempe sejak dulu. Segelintir perajin kemudian mencoba berinovasi mengolah tempe menjadi keripik.

Pilihan itu dirasa mampu menyelamatkan tempe daripada harus terbuang percuma. Keripik kala itu masih polos tanpa bumbu penambah rasa.
 
"Respons pasar lumayan dan bisa menyelamatkan perekonomian warga. Ayah saya akhirnya juga turut mengolah sebagian tempe menjadi keripik," ungkap Hidayat yang mulai ikut terjun di usaha keripik tempe sejak tahun 2000-an ini.
 
Lambat laun, banyak perajin mulai tertarik mengolah sebagian tempe produksinya menjadi keripik. Apalagi, tempe hanya bagus dikonsumsi sehari setelah dibuat, berbeda dengan keripik yang lebih tahan lama.

Bumbu instan aneka rasa mulai rasa balado, ayam bawang, ayam lada hitam, jagung bakar dan sebagainya membuat nilai ekonomi keripik jauh lebih tinggi dibanding jika sekedar dijual berupa tempe.
 

 

Suasana di Kampung Tempe Sanan Malang (Liputan6.com /  Zainul Arifin)

Hidayat mencontohkan satu alir atau sekotak tempe sepanjang 1 meter hanya dijual seharga Rp 30 ribu. Dari harga jual itu, perajin hanya mendapat margin keuntungan sebesar Rp 5.000. Tapi jika diolah menjadi keripik, dari sealir tempe sepanjang 1 meter itu bisa mendapat keuntungan sebesar Rp 20.000.
 
Setiap hari Hidayat membutuhkan 35 alir atau kotak tempe dan menghasilkan 130 kilogram keripik dan dikemas dalam paket kecil. Keripik itu pesanan pembeli dari Sidoarjo, Surabaya, Kalimantan dan kota besar lainnya. Melalui usaha ini, perputaran uang di outlet milik Hidayat bisa mencapai Rp 96 juta per bulan.
 
"Pendapatan kotor, belum dipotong untuk upah orang yang membantu membuat keripik dan biaya lain," kata Hidayat.
 
Perputaran uang di Kampung Sanan setiap hari bisa mencapai miliaran rupiah. Jumlah perajin keripik tempe di kampung ini hampir 120 perajin dengan nilai transaksi setiap perajin bervariatif. Mulai jutaan sampai belasan juta rupiah per hari.
 
Seorang perajin keripik tempe lainnya, Frimiyanti, mengaku per hari menerima pesanan sebanyak 2.000 bungkus keripik dari outlet di Malang sendiri, juga dari Sidoarjo, Pasuruan, Surabaya dan daerah lainnya. Omzet usahanya menembus Rp 180 juta per bulan dengan asumsi Rp 6 juta per hari.
 
"Kalau musim liburan panjang, jumlah pesanan dan omzet bisa naik lebih tinggi lagi. Sering kewalahan juga menerima pesanan," tutur Yanti.

Suasana di Kampung Tempe Sanan Malang (Liputan6.com /  Zainul Arifin)


Bisnis itu seolah segurih keripik itu sendiri. Terbukti semakin banyak warga luar yang datang untuk mendirikan outlet. Sebagian besar outlet yang berada di tepi jalan raya depan kampung adalah sekadar penjaja keripik.
 
"Mereka cuma menjual keripik, mengambil dari dalam Kampung Sanan. Harganya tentu jauh lebih mahal yang dijual mereka daripada yang dijual di dalam kampung," ucap Yanti.
 
Ucapan Yanti ini memang benar adanya. Jika membeli keripik tempe di outlet depan kampung, harganya paling rendah sebesar Rp 7.000 per bungkus. Padahal jika mau masuk ke dalam kampung, konsumen bisa membeli dengan harga jauh lebih hemat, yakni Rp 3.500 per bungkus.

Persaingan harga ini tak bisa dihindari. Apalagi tidak ada paguyuban khusus yang menaungi para perajin keripik di Malang ini dari persaingan harga.  "Kalau pembeli pilih yang mudah ya beli di outlet depan kampung, harganya lebih mahal. Kalau di dalam lebih murah dan banyak pilihan," kata Yanti.