Liputan6.com, Malang - Sore itu, beberapa bocahduduk bersila di lantai sebuah ruangan dengan tembok bercat hitam. Tangan mereka mengacungkan wayang kulit sembari menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. Seorang bocah lainnya duduk di depan sambil menyusun wayang di tancepan layaknya seorang dalang.
"Tangannya yang lurus. Jari harus pas megang tangkai wayang," Suwarno berseru kepada bocah–bocah itu, di Malang, Jawa Timur, Jumat (22/4/2016).
Sore itu, anak–anak berusia 4 sampai 11 tahun belajar dalang di Sanggar Padaka Nusa yang diasuh oleh Suwarno. Sanggar itu memanfaatkan salah satu ruangan di gedung Dewan Kesenian Malang untuk belajar dalang setiap Jumat sore.
"Diajari teknik memegang wayang yang tepat secara rinci. Mereka ini masih anak–anak, masih belum perlu diberi pemahaman secara logika," ujar Suwarno.
Baca Juga
Teknik memegang wayang yang diajarkan adalah bagaimana susunan jari yang tepat memegang tangkai wayang hingga bagaimana saat seblak atau menggerakkan wayang ke kiri dan kanan. Termasuk nama tokoh dan menyusun wayang kulit di tancepan depan layar.
Butuh waktu minimal 6 bulan mengajari para bocah ini sampai hafal dan memahami teknik itu. Setelah itu biasanya mereka akan lancar sendiri saat mendalang. Filosofi tentang wayang diberikan pada mereka yang setidaknya sudah duduk di bangku SMP dan SMA.
"Biasanya yang belajar dalang ada anak yang sudah duduk di bangku SMP sampai SMA. Kebetulan sekarang jelang ujian akhir tahun, jadi mereka fokus di pelajaran sekolah," tutur Suwarno.
Jika mereka sudah memahami teknik memegang wayang, barulah pria berusia 59 tahun itu mengajarkan dalang sesungguhnya. Mulai dari bagaimana mendalang per adegan isi cerita wayang hingga menyusun naskah cerita sendiri.
Dalang Cilik
Advertisement
Suwarno menyatakan butuh kesabaran untuk mengajari para bocah, apalagi di bangku sekolah tak ada pelajaran tentang wayang. Kalau pun ada pendidikan bahasa daerah, itu hanya ditempatkan sebagai muatan lokal sehingga terkesan pendidikan yang ala kadarnya.
"Mereka ini masih kecil, tapi banyak juga yang cepat menyerap apa yang diajarkan," tutur Suwarno yang dibayar seikhlasnya dari orangtua para bocah itu.
Tak sedikit dalang cilik yang muncul dari sanggar asuhan Suwarno ini. Elfrado Dee Vernandocello, siswa kelas 3 SD Kalam Kudus Malang ini misalnya. Ia sudah sejak tahun lalu belajar di Suwarno.
"Saya suka wayang sejak kecil. Nggak tahu kenapa, pokoknya suka," kata bocah berusia 9 tahun itu.
Ia mengaku sudah beberapa kali menjadi dalang dalam pementasan baik itu yang dilakukan oleh sekolah atau pun saat ada perayaan di gereja. Sekali main, durasi waktu yang dihabiskan antara 1 - 4 jam.
"Kalau gereja saya ada kegiatan, biasanya mementaskan wayang kulit. Saya tampil sebagai dalangnya," ujar Elfrado.
Hal senada dikatakan Zulfikar, bocah berusia 4 tahun asal Pakis Kabupaten Malang. Zulfikar bahkan beberapa kali mentas sebagai dalang dalam pagelaran wayang kulit di kampungnya. Ia tak canggung meski disorot banyak pasang mata saat tampil.
"Suka saja main dan jadi dalang. Saya punya banyak mainan wayang–wayangan di rumah," ucap Zulfikar.
Suwarno sendiri mengaku ada kepuasan batin mengajari anak–anak itu menjadi dalang wayang kulit. Apalagi, wayang kulit merupakan warisan budaya leluhur yang patut dilestarikan.
"Biar para generasi muda ini tahu dengan budayanya sendiri. Kalau tak tahu, mau jadi apa bangsa ini," kata Suwarno.