Sukses

Derita Tahanan Politik Wanita di Kamp Terisolir Plantungan

Di Plantungan inilah timbul perasaan sepi dan putus asa karena para tahanan politik wanita dijauhkan dari keluarga dan masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Bagaimana sebenarnya kisah hidup para tahanan politik 1965 di Plantungan, Kendal, Jawa Tengah?

Amurwani Dwi Lestriningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan mencatat kebijakan pemindahan para tahanan wanita dari berbagai tempat ke Plantungan didasari niat untuk membina para tahanan. Lebih lanjut, para kader maupun simpatisan PKI dianggap telah dan akan tetap membahayakan kehidupan bangsa, negara, dan Pancasila.

Karena itulah mulai April 1972, dikirimlah para tahanan wanita dari berbagai tempat di seluruh Indonesia ke Plantungan. Di tempat bekas perawatan penderita lepra itu, setidaknya ada 500 orang tahanan wanita. Di antaranya adalah Mia Bustam (istri pelukis S. Sudjojono, Rose Pandanwangi (penyanyi seriosa), Sri Kayati (istri Rewang, anggota Politbiro CCPKI), Salawati Daud (anggota MPRS), Ny D. Susanto (anggota DPRD), dr Sumiyarsi (istri Syarif Caropeboka, tokoh Pemuda Rakyat), bintang film Dahlia, dan sejumlah tokoh politik wanita lainnya.

Plantungan terletak di kaki Gunung Prahu. Plantungan diapit oleh Gunung Butak dan Kemulan di jajaran pegunungan Dieng yang terkenal dengan belerangnya. Desa Plantungan merupakan daerah perbatasan yang berada di ujung paling selatan Kota Kendal. Tanahnya subur dan udaranya sejuk.

Mia Bustam pernah membandingkan kamp Plantungan dengan penjara sebelumnya tempat ia ditahan. Mia menuliskan, “Aku segera merasa sreg di tempat itu (kamp Plantungan). Hawa segar, pemandangan indah pada pagi hari, dari lereng pegunungan, terdengar suara ayam hutan. Sama-sama ditahan, tempat ini jauh lebih menyenangkan, juga lebih sehat daripada penjara yang serba tertutup.”

Meski demikian, Plantungan adalah tempat yang terpencil dan terisolasi. Para tahanan politik hidup serba terkekang dan terbatas. Mereka tidak boleh membaur dengan warga setempat. Pengawasan para penjaga terhadap kegiatan mereka juga sangat ketat. Segala sesuatunya begitu minim dan buruk.

Bangunan kamp Plantungan itu sendiri sudah tua. Setiap bloknya berbentuk empat persegi panjang dengan dinding tembok dan atap terbuat dari semen. Lantainya dari plesteran semen. Wilayah Plantungan yang dikelilingi hutan juga membuat bahaya akan serangan ular sewaktu-waktu bisa terjadi.

Dokter Sumiyarsi, salah satu tahanan politik, menuturkan di kamp itu mereka makan dengan dijatah dan pengobatan begitu jelek. Sampai-sampai pada 1975 ada dua orang pasien yang meninggal di kamp karena tak bisa tertangani. Pasien yang ditangani dokter Sumiyarsi itu adalah Ibu Rini yang menderita kanker usus dan Ibu Sastro yang menderita TBC.

Malangnya, ucap dr Sumiyarsi, jenazah Ibu Rini tidak diterima keluarga karena dia dianggap atau dituduh terlibat Peristiwa PKI/1965. Maka, jenazah Ibu Rini dimakamkan di kompleks pemakaman dekat kuburan Belanda, di sebelah kanan kompleks Plantungan menuju arah bukit.

2 dari 2 halaman

Sepi dan Putus Asa di Plantungan

Di Plantungan inilah timbul perasaan sepi dan putus asa karena para tahanan politik dijauhkan dari keluarga dan masyarakat. Kebebasan yang dirampas, hak asasi yang direnggut, kebebasan yang hilang dengan stempel tahanan politik membuat mereka sangat menderita. Saat itu mereka benar-benar tidak tahu kapan mereka akan dibebaskan. Secara psikologis para tahanan wanita ini hidup dalam perasaan yang sangat tertekan.

Heryani Busono mengingat masa-masa itu dengan mata yang menerawang dan suara yang bergetar. “Benar-benar terkurung tubuh saya,” katanya Kamis, 21 April 2016.

Untuk melampiaskan rasa rindu pada anaknya, di kamp itu Heryani membuat nyanyian berjudul "Lagu untuk Anakku." Ia yang menulis liriknya, sementara notasinya digubah oleh Djuwita. Lagu itu ditulisnya dengan bantuannya penjaga asrama tahanan politik di Plantungan.

Heryani memang bersahabat dengan penjaga tahanan karena waktu itu ia menjadi ketua blok. Ia bertugas menjadi penghubung antara petugas dan para tahanan politik.

Lagu itu dibuatnya sebagai doa agar kedua anaknya tidak merasakan nasib yang sama seperti dirinya. Meski demikian, setelah dibebaskan pada 1978, Heryani menyadari bahwa tak semua orang diberi kepercayaan mengalami masa lalu sepertinya. Ia berjuang keras membuktikan dirinya bukan pembunuh sesama, hingga kepercayaan masyarakat akhirnya didapat.

“Saya sekarang menikmati masa tua saya dengan menjadi guru les privat bahasa Inggris. Benar saya adalah tahanan politik. Tidak setiap manusia dipercaya seperti saya untuk menapaki jalan derita,” katanya menegaskan.