Liputan6.com, Cirebon - Lika-liku gemerlap dunia musik pantai utara (pantura) Jawa melekat di mata para senimannya. Tanggapan negatif tak pernah lepas dari setiap perjalanan para pelaku di dalamnya.
Secara kasat mata, para seniman pantura cenderung memiliki kesan glamour. Meski dalam setiap penampilannya para seniman pantura membawakan lagu khas daerah.
"Ya anggapan orang bermacam-macam, ada yang negatif dan positif," tutur salah seorang ratu pantura Cirebon-Indramayu, Anik Arnika kepada Liputan6.com, Senin (25/4/2016).
Anik mengaku sejak menyatakan diri terjun ke seni musik pantura, banyak risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Secara keseluruhan, kesan selalu ada dalam benak masyarakat baik penikmat pantura maupun masyarakat awam.
"Resiko di panggung selalu ada, aku pernah sampe nampar orang pada di panggung," kata Anik.
Baca Juga
Kejadiannya, kata Anik, pada saat dirinya sedang nyanyi di panggung, tiba-tiba banyak orang yang joget di panggung untuk nyawer. Tapi ada satu penonton yang nyolek bagian tubuh sensitif.
"Pas orang itu berbalik arah penonton saya tendang dan ternyata orang tersebut berbalik ke arah saya otomatis saya tampar. Saya bilang tidak semua penyanyi pantura seperti itu," ujar Anik.
Dari kejadian tersebut, Anik bersama grup musiknya memberi aturan tegas kepada masyarakat atau lembaga yang ingin memakai jasa seninya menghibur orang lain.
Ia menegaskan, geliat musik pantura sangat menantang. Terutama bagi seniman yang memiliki visi misi mengangkat dan melestarikan kesenian warisan leluhur.
Kecintaan Anik terhadap tarling pantura memotivasi dirinya untuk menggapai cita-cita menjadi seorang sinden. Dengan alasan alunan nada yang khas tidak bisa ditiru oleh seniman dangdut manapun di luar Cirebon.
"Saya justru tidak tertarik menjadi artis nasional. Yang penting dikenal dulu di Ciayumajakuning setelah itu saya mau jadi sinden karena etniknya," tutur perempuan yang juga mengidolakan Soimah ini.