Liputan6.com, Manado - Sudah genap satu bulan 10 WNI ABK Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf. Hingga kini pula belum ada kejelasan nasib mereka. Pihak keluarga pun kian cemas, seperti yang dialami keluarga Kapten Kapal Tugbout Brahma 12, Peter Tonsen Barahama.
Orang tua Peter, Sofitje Salemburung dan Charlos Barahama, mengaku merasakan kondisi yang mencemaskan itu. Sofitje mengatakan, tiap hari pada jam 06.00 pagi selalu bangun untuk nonton TV. Dia mengaku sehari kalau tidak mendengar berita tentang Peter rasanya mau mati.
"Saya tak bisa tidur tadi malam. Ternyata pagi-pagi dapat berita ada sandera yang dipenggal kepalanya," ujar Sofitje yang didampingi suaminya saat diwawancarai di rumah mereka, Rabu (27/04/2016) pagi.
Mantan guru ini ingat bagaimana keadaan mereka, termasuk kalau terjadi kontak senjata. "Tapi tadi agak plong hati ini karena ayah Peter, menerima telpon dari pihak perusahan yang menyebutkan Peter dan kawan-kawan dalam kondisi selamat," ujarnya.
Baca Juga
Charlos menambahkan ibu Mega dari pihak perusahan menelpon bahwa sampai sekarang keadaan 10 WNI yang ditahan kondisinya masih selamat. "Perusahan menyampaikan setelah diinformasi oleh kelompok Abu Sayyaf soal keadaan para ABK," kata Charlos.
Selanjutnya untuk genjatan yang terjadi waktu lalu mereka sudah tidak ada di lokasi karena sudah di pindahkan. Kemudian Charlos mengatakan tentang uang tebusan belum tahu.
"Sebab itu urusan kantor pusat bukan cabang di Banjarmasin," tuturnya meniru penyampaian Ibu Mega dari perusahan Kapal Brahma 12.
Perusahan juga mengimbau bahwa keluarga tetap tenang. Mengingat sampai sekarang masih dilakukan negosiasi.(***)
Keluarga Padang Kecewa
Kondisi yang sama dirasakan keluarga sandera di Padang. Aidil (55) ayah Wendi Rakhadian mengatakan, pihak keluarga belum mengetahui nasib putra sulungnya hingga saat ini.
"Belum juga ada kejelasan (nasib Wendi)," kata Aidil pada Liputan6.com, Selasa (26/4/2016). Sejauh ini, katanya, PT Patria Maritime Lines selalu menginformasikan Wendi dalam keadaan sehat namun tak bisa memastikan kapan anaknya akan dibebaskan.
Wendi Rakhadian bersama sembilan rekan awak kapal Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf pada 26 Maret 2016. Aidil mengatakan, terakhir berkomunikasi dengan pihak perusahaan pada Sabtu pekan lalu. "Hingga kini tidak ada lagi informasi terbaru," ujarnya.
Terkait rencana perusahaan untuk melunasi tebusan sebesar Rp14 miliar, pihak perusahaan tidak bisa menjelaskan. Aidil mengaku, informasi ini diterimanya dari sejumlah informasi.
"Perusahaan tidak menjelaskan soal itu (tebusan), mereka hanya menyatakan sedang berusaha menyelamatkan sandera," ungkapnya.
Sikap perusahaan yang dinilai tidak memberi kejelasan terkait nasib anaknya membuat Aidil merasa tidak puas dan kecewa. Ia berharap, perusahaan bisa memberikan kepastian terkait nasib rencana pembebasan dan pembayat uang tebusan pada korban kapal Brahma 12.
Pihak keluarga hanya bisa berdoa agar korban penyanderaan Abu Sayyaf bisa selamat. Data Indonesia Liason Officer TNI, 10 nama kru kapal yang disandera, yakni Peter Tonsen Barahama, Julian Philip, Alvian Elvis Peti, Mahmud, Surian Syah, Surianto, Wawan Saputra, Bayu Oktavianto, Reynaldi, dan Wendi Rakhadian.
Umar Patek Siap Bantu
Narapidana kasus terorisme, Umar Patek, menyebut niat membantu negoisasi pembebasan WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayaf Filipina murni karena kemanusiaan. Eks bomber bom Bali ini membantah niat itu didasari karena keinginannya mendapat remisi hukuman.
"Waktu itu aku murni menawarkan diri ke pemerintah Indonesia, bukan diminta membantu negoisasi pembebasan WNI yang disandera Abu Sayaf," kata Umar Patek disela menjadi pembicara di sebuah seminar di Kota Malang, Jawa Timur, Senin 25 April 2016.
Terpidana yang divonis 20 tahun penjara ini membantah kabar yang menyebut ia meminta remisi 10 tahun atau potongan separuh masa tahanan sebagai syarat membantu negoisasi. Dia menyatakan semua yang dilakukan murni demi kemanusiaan lantaran kasihan dengan para sandera.
"Semua murni tanpa syarat, karena penyanderaan itu mengusik perasaanku. Aku juga merasa mampu membantu negoisasi karena aku kenal betul dengan kelompok itu," ucap Umar.
Ia juga mengenal baik dengan para pemimpin kelompok penculik WNI itu. Jika dipercaya, Umar sangat siap membantu membebaskan 11 WNI yang disandera itu tanpa syarat. Umar sendiri diketahui lama bermukim bersama kelompok militan radikal Filipina itu.
Berdasarkan pengakuannya, ia tinggal di salah satu kamp pelatihan kelompok itu di Filipina. Umar menjejakkan kaki di camp yang disebut Camp Abu Bakar Assidiq itu pada tahun 1998. Istrinya seorang mualaf juga seorang warga Filipina. Ia meninggalkan Filipina di tahun 2000 untuk bergabung bersama Imam Samudra, Mukhlas, Ali Imron dan Amrozi dan menjadi dalang bom Bali I.
Usai aksi terorisme itu, Umar Patek kabur kembali ke Filipina pada tahun 2002. Sebelum akhirnya dia ditangkap di Palestina pada 2011 dan diekstradisi ke Indonesia pada 2012. Umar Patek divonis 20 tahun penjara dan kini mendekam di LP Porong Sidoarjo.
Advertisement