Liputan6.com, Cirebon - Kelompok teroris masih menjadi ancaman bagi bangsa di dunia khususnya di Indonesia. Kaderisasi mereka biasanya lebih banyak menyasar kalangan anak muda yang masih labil atau biasa di sebut pemuda galau.
Hal itu sebagaimana diungkapkan mantan teroris yang pernah membuat negeri ini gempar, yaitu Abdurrahman Ayub dalam acara dialog pencegahan paham radikal terorisme dan ISIS di Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Selasa 3 Mei 2016.
Abdurahman Ayub yang pernah menjadi Komandan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan mengungkapkan, ada dua model pemuda yang paling mudah untuk direkrut menjadi anggota jaringan teroris, yaitu pemuda yang galau akan jati dirinya dan pemuda yang mengalami permasalahan keluarga.
"Saya hanya butuh waktu tiga hari, untuk bisa merekrut pemuda galau, yang baru lulus dan belum mendapatkan pekerjaan menjadi anggota teroris," ujar Ayub.
Â
Baca Juga
Menurut dia, pemuda yang sedang mengalami masalah keluarga, merupakan target termudah untuk bisa direkrut menjadi teroris.
"Kalau pemuda yang bermasalah dalam keluarganya, sekolahnya putus, saya bisa merekrut hanya dalam waktu tiga menit," sambung Ayub.
Agar tidak terlibat dalam terorisme, Ayub juga meminta kepada para masyarakat untuk tidak bergabung dalam pendidikan agama yang mudah mengkafirkan orang.
Apalagi, lanjut Ayub, jika pendidkan yang dilakukannya secara tertutup. Selain itu, perhatian keluarga menjadi poin penting, untuk mencegah si anak bergabung dalam jaringan terorisme.
"Perhatian keluarga sangat penting. Kita juga jangan salah memilih guru atau pendidikan," kata Ayub.
Sementara itu, Deputi I BNPT Mayjn TNI Abdul Rahman Kadir mengatakan sebanyak 500 Warga Negara Indonesia (WNI) saat ini berada di Suriah bergabung dengan ISIS.
Ia mengungkapkan, sejumlah WNI tersebut menuju ke Suriah dengan berbagai alasan diantaranya pendidikan dan ibadah. Perjalanan yang dilakukan oleh para WNI untuk menuju Suriah, biasanya melalui negara lain, tidak langsung menuju suriah.
"Soalnya, kalau langsung ke Suriah, pasti akan langsung diidentifikasi," kata Kadir.
Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama Abdul Ghaffar Rozin juga mengakui, bahwa tidak sedikit WNI yang membelot untuk bergabung dengan kelompok-kelompok radikal, pasca mengikuti pendidikan di luar negeri.
"Tidak hanya timur tengah, namun eropa juga banyak WNI yang akhirnya bergabung dengan kelompok radikal," kata Ghaffar.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, ia meminta kepada pemerintah untuk memverifikasi kampus-kampus di luar negeri mana saja, yang mengajarkan faham-faham radikal.
"Sehingga, pemerintah bisa mengeluarkan larangan untuk belajar ke kampus tersebut. Jadi, ini merupakan salah satu bentuk antisipasi, masuknya faham dan ideologi luar yang masuk ke Indonesia. Terutama faham-faham radikal," kata Ghoffar.
Advertisement