Sukses

Suku Batin Sembilan Jambi Berjuang di Hutan Harapan

Kelompok Suku Batin Sembilan di Jambi, beberapa kali harus terusir bertahun-tahun dari habitat aslinya.

Liputan6.com, Jambi - Provinsi Jambi memiliki beberapa kelompok masyarakat adat atau suku. Paling dikenal adalah Orang Rimba. Namun ada beberapa suku lain, salah satunya adalah Suku Batin Sembilan. Karena penyeragaman nama suku-suku di Jambi menjadi Suku Anak Dalam (SAD), menyebabkan semua suku dianggap sama, yakni SAD.

Sama seperti Orang Rimba, keberadaan Suku Batin Sembilan juga menjadi minoritas yang masih butuh perhatian dan pelayanan pemerintah. Bahkan, secara adat wilayah, kelompok Suku Batin Sembilan beberapa kali harus terusir bertahun-tahun dari habitat aslinya akibat bersinggungan dengan kepentingan korporasi.

Secara administratif, Suku Batin Sembilan kelompok Simpang Macan Luar berada di RT 22, Dusun Kunangan Jaya I, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Kediaman mereka berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Jambi, ibu kota Provinsi Jambi.

"Wilayah adat kami ini sudah lama ada, sejak zaman Belanda bahkan menjadi basis perjuangan rakyat melawan penjajah," ucap Hasan Badak, salah seorang tokoh Suku Batin Sembilan saat ditemui Liputan6.com di Simpang Macan Luar, Sabtu 21 Mei 2016.

Hasan menuturkan, Suku Batin Sembilan merupakan keturunan dari nenek moyang mereka, yakni Depati Seneneng Ikan Tanah dan Raden Ontar. Keduanya adalah pemimpin sembilan batin (sungai).

Di antaranya, Batin Bulian, Batin Jebak, Batin Bahar, Batin Sekamis, Batin Jangga, Batin Singoan, Batin Burung Antu, Batin Pemusiaran, dan Batin Telisak. Semuanya tersebar di wilayah Kabupaten Batanghari, Muarojambi, dan Sarolangun.

Hasan memaparkan pula, mata pencaharian Suku Batin Sembilan adalah dengan berburu, mencari buah-buahan di hutan, menubo (mencari ikan) hingga mengambil madu di sialang (pohon madu). Tata kuasa tanah dan air sangat diatur dalam adat Suku Batin Sembilan, begitu juga aturan-aturan dalam perkawinan.

Masuknya Korporasi

Seiring perkembangan zaman, sejak dekade 70-an hingga 80-an, sejumlah perusahaan atau korporasi mulai memasuki wilayah adat suku-suku di Jambi. Namun, menurut Hasan, perusahaan perkebunan dan kehutanan dianggap 'bencana' bagi sejumlah suku di Jambi, termasuk Suku Batin Sembilan. Kawasan tempat tinggal suku-suku tersebut sebagian besar ada di areal hutan yang masuk konsesi perusahaan tersebut.

Ia mengungkapkan, PT Asialog merupakan perusahaan pertama yang mendapat izin konsesi penebangan kayu di hutan yang selama ini ditinggali Suku Batin Sembilan. Mulai saat itu warga asli dilarang melakukan aktivitas apa pun di kawasan konsesi.

Kondisi kian parah ketika sebuah perusahaan sawit bernama PT Bangun Desa Utama (BDU) masuk dan membuka lahan berbatasan langsung dengan kawasan konsesi PT Asialog. "Saat itu banyak kawasan yang selama ini ditinggali dan digarap warga Suku Batin Sembilan digusur oleh perusahaan yang dibekingi oknum aparat," ujar Hasan Badak.

Akibatnya, imbuh Hasan, ratusan warga Suku Batin Sembilan terpaksa harus terusir dari kampung halamannya. Mereka memilih pindah ke wilayah lain di luar kawasannya.

Bahkan, menurut Hasan, masuknya perusahaan-perusahaan tersebut mulai mengubah kebiasaan warga Suku Batin Sembilan. Ketiadaan lahan untuk mencari sumber penghidupan menyebabkan laki-laki dan perempuan Suku Batin Sembilan memilih menjadi pemungut berondolan biji sawit milik perusahaan. Sawit-sawit tersebut kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hingga pada 7 Agustus 2007, Kementerian Kehutanan mencabut izin HPH PT Asialog dengan menerbitkan SK 272/Menhut-II/2007. Perusahaan HPH ini diketahui sudah tidak aktif sejak 2000. Hal ini memicu sekitar 40 kepala keluarga Suku Batin Sembilan 'pulang kampung' setelah hampir 30 tahun terusir. Warga kembali membuka ladang dan berkebun di kawasan Simpang Macan Luar.

Kendati demikian, menurut Hasan, kenyamanan yang mulai dirasakan warga Suku Batin Sembilan kembali memudar. Sebuah perusahan kembali masuk. Adalah perusahaan yang sekaligus pelaksana proyek restorasi ekosistem, yakni PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) pada 2007 resmi mendapatkan izin konsesi di bekas kawasan PT Asialog.

Hasan mengatakan pula, salah satu proyek utama PT REKI adalah memulihkan kawasan konsesinya menjadi kembali semula. Kawasan konsesi PT REKI bahkan mencapai lebih dari 100 ribu hektare membentang di dua provinsi, yakni Jambi dan Sumatra Selatan.

Meski perusahaan ini tidak melakukan eksploitasi lahan, sejumlah warga Suku Bathin Sembilan dilarang berladang dan membuat rumah tinggal. Menurut Hasan, larangan ini muncul karena kawasan Simpang Macan Luar masuk dalam konsesi PT REKI.

2 dari 2 halaman

Timbul Konflik

Berdasarkan pemetaan kawasan yang dilakukan bersama masyarakat Batin Sembilan, Yayasan CAPPA, SLPP dan PT REKI, wilayah hukum adat Simpang Macan Luar seluas 828 hektare.

Masuknya konsesi PT REKI menimbulkan dualisme klaim atas kawasan Simpang Macan Luar yang selama ini dihuni Suku Batin Sembilan. Akibatnya, tak jarang muncul konflik antara perusahaan dengan warga.

"Sebelum ada PT REKI, kami sudah berladang menanam durian, petai, rambutan dan jengkol. Itu bukti kami lebih dahulu ada," kata Baharudin, salah seorang tokoh Suku Batin Sembilan lainnya.

Dalam perjuangannya, Suku Batin Sembilan mendapat pendampingan dari sejumlah organisasi. Salah satunya adalah Yayasan CAPPA. Selama lebih dari empat tahun terakhir, Suku Batin Sembilan dibantu organisasi pendamping memperjuangkan hak tanah adat mereka.

Tak terhitung berapa kali pertemuan digelar melibatkan perusahaan, pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan, tokoh masyarakat hingga pihak terkait.

Pertemuan digelar tak hanya di kawasan konsesi atau rumah warga. Namun kerap dilakukan juga di Kota Jambi dan Jakarta. Tujuannya satu, yakni agar ditemukan kesepakatan antara perusahaan dengan warga Batin Sembilan atas tanah adat mereka.

Menurut Direktur Pelaksana Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, M Zuhdi, konflik antara warga Batin Sembilan dengan PT REKI mulai muncul ketika perusahaan melarang warga membuka kebun di atas kawasan konsesi. Kompensasinya, warga Batin Sembilan diberikan pekerjaan mencari bibit kayu dengan gaji rata-rata Rp 1 juta per bulan.

Karena dilarang berkebun, menyebabkan warga kebingungan. Uang gaji yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, saat masih bisa berkebun, warga Batin Sembilan tidak pernah kekurangan kalau hanya untuk makan.

"Mulai pertengahan 2012, warga Batin Sembilan memberikan mandat pendampingan kepada Yayasan CAPPA, Perkumpulan Hijau dan Agra," kata Zuhdi.

Dengan didampingi sejumlah organisasi, warga Batin Sembilan mulai memperjuangkan hak wilayah adatnya. Sejumlah pertemuan digelar dengan pihak terkait. Bahkan warga Batin Sembilan pernah diundang langsung oleh salah satu pihak donatur PT REKI, yakni Bank Pembangunan Jerman (KFW).

Hasan Badak, salah seorang tokoh adat suku Batin Sembilan di Kabupaten Batanghari, Jambi. (Liputan6.com/Bangun Santoso)

Namun demikian, tak lantas membuat masalah selesai. Wilayah yang disengketakan tak hanya diklaim oleh PT REKI dan Suku Batin Sembilan, ada kelompok lain yang ikut juga mengklaim wilayah tersebut. Kondisi makin rumit. Hingga akhirnya dilakukan pemetaan ulang atas lahan yang disengketakan.

Titik terang mulai muncul memasuki akhir 2015 lalu. Dengan difasilitasi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, pertemuan kembali digelar. Pada pertemuan itu bertujuan membahas draf kesepakatan antara PT REKI dengan warga Batin Sembilan.

Dua hari usai pertemuan di Jakarta itu, pihak PT REKI mengirim pesan elektronik ke KLH. Isinya, PT REKI bersedia mengakomodir penyelesaian konflik, namun dengan beberapa catatan.

Kemudian hanya masyarakat adat yang mempunyai hak kelola kawasan yang akan menjadi objek perjanjian. Pendirian rumah juga tidak boleh permanen. Pembukaan dan pengelolaan ruang tidak boleh menggunakan api dan akan didiskusikan cara-cara baru.

Menindaklanjuti hal tersebut, pada 11 November 2015 kembali digelar pertemuan yang dihadiri pihak perusahaan, warga, kementerian, organisasi pendamping serta perwakilan pemerintah daerah di salah satu hotel di Jakarta. Selama pertemuan empat jam itu, disepakati adanya draf kesepakatan tahap akhir.

Konflik menahun antara warga Batin Sembilan di kawasan Simpang Macan Luar dan PT REKI akhirnya berakhir pada 3 Desember 2015. Hari itu, meja panjang dibentang di halaman kamp PT REKI. Ratusan warga Batin Sembilan ikut menjadi saksi penandatanganan nota kesepakatan atas penyelesaian konflik lahan selama ini.

Tanggapan PT REKI

Jomi Suhardi selaku Community Partnership Manager PT REKI mengatakan, pihaknya amat menyadari bahwa di dalam hutan tidak hanya ada pepohonan dan binatang, tapi juga terdapat manusia.

Jomi menyebutkan, kelompok Suku Batin Sembilan yang sudah menandatangani MoU atau nota kesepahaman dengan PT REKI adalah kelompok di kawasan Simpang Macan Luar, Tanding, Gedlinding dan Mitrazon. Sementara, kelompok migran (perambah) yang telah menandatangani MoU adalah kelompok Trimatno.

Saat ini, kelompok migran Nurwanto juga dalam negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan. Begitu juga dengan kelompok Suku Batin Sembilan di kawasan Simpang Macan Dalam.

Kesepakatan yang dicapai adalah Suku Batin Sembilan diperbolehkan menempati lahan kelola di dalam hutan konsesi PT REKI atau biasa dikenal dengan nama Hutan Harapan.

Warga Batin Sembilan diperbolehkan pula menanam pohon kehidupan seperti karet, jengkol, durian, padi, sayuran dan sebagainya. Mereka juga diperbolehkan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, madu dan jernang.

Warga Batin Sembilan diizinkan pula menebang pohon untuk keperluan membangun rumah ibadah dan rumah tempat tinggal. Tapi, warga Batin Sembilan tidak diperbolehkan menjual lahan, menebang kayu untuk kepentingan komersial, membuka lahan baru, serta membersihkan kebun dengan cara membakar. Warga juga dilarang menanam kelapa sawit.

Jomi menjelaskan, pendekatan antara kelompok Suku Batin Sembilan dengan kelompok perambah berbeda, meski sama-sama berada di area konsesi PT. REKI. "Kelompok migran (perambah) ini sudah menanam sawit di dalam Hutan Harapan. Jika sawitnya ditebang, pasti memunculkan konflik fisik," ujar Jomi.

Sesuai dengan Permenhut No 239 tahun 2013, PT REKI menawarkan pola kemitraan dengan kelompok migran. Masing-masing KK diperbolehkan mengelola kelapa sawit yang sudah terlanjur mereka tanam maksimal dua hektare. Jika ada kelapa sawit luasnya di atas dua hektare hingga 10 hektar, maka akan dikelola secara komunal. Jika ada kebun sawit yang luasnya 10 hektare atau lebih, maka akan dilakukan penindakan hukum.

Jomi menyebutkan, kini ada sekitar 3.000 KK yang menguasai sekitar 20 ribu hektare atau hampir separuh dari kawasan Hutan Harapan di Provinsi Jambi. Dari jumlah itu, baru ada satu kelompok dengan jumlah sekitar 170 KK yang setuju menandatangani MoU dengan PT REKI.

"REKI akan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan persoalan ini. REKI memiliki sembilan komitmen HAM yang menjadi acuan dalam penyelesaian konflik dengan warga," ucap Jomi.

Video Terkini