Liputan6.com, Makassar - Kasus seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 yang diproses hukum lantaran mencubit anak atau murid belakangan ini menjadi perbincangan ramai warga Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Kisah Nurmayani, guru biologi tersebut, pun mengundang komentar dari beragam kalangan. Terutama sejak ia mendekam di sel tahanan setelah kasusnya dinyatakan rampung (P21) dan telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Bantaeng.
Juru bicara Polda Sulselbar Kombes Frans Barung Mangera menjelaskan, kasus guru mencubit murid itu bermula pada 15 Agustus 2015. Ketika itu, orangtua korban (murid) melaporkan kepada kepala Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polres Bantaeng tentang dugaan penganiayaan yang dialami korban.
Advertisement
Setelah laporan masuk, penyidik bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bantaeng tidak langsung melakukan upaya hukum. Namun, penyidik melakukan upaya mediasi dengan melibatkan beberapa pihak, di antaranya pihak PGRI Bantaeng, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Bantaeng, aktivis pekerja sosial anak, dan Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Kendati demikian, menurut Barung, dari pihak orangtua korban tidak menerima perlakuan guru biologi tersebut, yaitu Nurmayani yang akrab disapa Bu Maya.
Baca Juga
"Orangtua korban tetap meminta kepada penyidik untuk ditindaklanjuti kasus yang dilaporkannya ke proses hukum, tetapi penyidik tetap sekali lagi melakukan upaya mediasi," ucap Barung kepada Liputan6.com di Makassar, Kamis (26/5/2016).
Namun, kata Barung, korban tetap tidak menerima baik atas tindakan guru Nurmayani yang mencubit anak muridnya. Kendati di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tidak ada menjelaskan tentang proses mediasi.
Seiring kasus ini berjalan tujuh bulan dan terlapor, menurut Barung, tak ada juga upaya pendekatan untuk minta maaf kepada orangtua korban, penyidik melakukan proses hukum. Sebab, pihak korban mendatangi terus penyidik untuk menanyakan perkembangan penanganan kasus yang dilaporkannya tersebut.
"Sehingga pada bulan Februari 2016, penyidik PPA menindaklanjuti dengan melakukan proses hukum, tetapi tidak dilakukan penahanan karena ini sudah menjadi kewajiban penyidik untuk menindaklanjuti semua laporan masyarakat," Barung menjelaskan.
Tersangka Ditahan Kejaksaan
Tepat pada tanggal 13 Mei 2016, Barung mengatakan, penyidik PPA kemudian menyerahkan tersangka ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bantaeng. Dan pada hari itu juga pihak JPU Bantaeng menahan tersangka guru yang mencubit murid.
"Jadi mengenai penahanan guru tersebut perlu diluruskan bahwa yang menahan itu bukan pihak kepolisian dan selama proses penyelidikan hingga penyidikan, guru yang dimaksud tak pernah ditahan. Yang menahan itu pihak kejaksaan, jaksa. Sekali lagi kasusnya sampai saat ini sudah kewenangan jaksa, bukan kepolisian lagi," Barung memaparkan.
Dalam kasus ini, guru Nurmayani dikenakan dugaan pidana sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 80 ayat (1) dengan ancaman pidana paling lama 3 tahun 6 bulan dengan denda paling banyak Rp 72 juta.
Dalam pengakuan murid selaku korban dari hasil penyelidikan hingga penyidikan yang tertuang pada berita acara pemeriksaan (BAP), menurut Barung, dijelaskan oleh murid selaku korban bahwa ia mendapat perlakuan buruk dari gurunya selaku tersangka.
Dalam ruangan BK, ia mengaku dianiaya gurunya dengan cara paha kiri, paha kanan, pipi kirinya dicubit. Selain itu, korban juga dipukul sehingga menyebabkan bengkak dan luka memar. "Hal ini dikuatkan oleh keterangan ahli medis bahwa korban mengalami luka akibat trauma benda tumpul," Barung membeberkan.
Barung berharap atas kejadian ini, para tenaga pengajar atau pendidik bisa menjadikan pelajaran bahwa mendidik anak didik itu jangan lagi menggunakan pola lama di mana menggunakan kekerasan atau fisik kepada anak didiknya.
"Ini kan ada aturan yang mengatur, sehingga menjadi warning untuk berbuat yang tidak dibenarkan oleh aturan yang dimaksud. Didiklah anak dengan ikhlas dan tidak menggunakan kekerasan," Barung mengimbau.
Kajati Sulsel Turun Tangan
Karena kasus ini menjadi sorotan dari berbagai kalangan, pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel pun merespons dengan cepat. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel, Hidayatullah, yang ditemui di ruangannya, langsung menghubungi dan meminta penjelasan Kejari Bantaeng Erry Purdyanto Marwantoro terkait kasus ini.
Dalam percakapannya dengan Erry, Hidayatullah langsung meminta Erry bijaksana dalam menangani kasus tersebut.
"Saya sekali lagi bertanya apa yang menjadi pertimbangan sampai pihak kita melakukan penahanan, sementara di kepolisian tak ada penahanan. Saya kira alasannya samalah karena objektif dan subjektif. Kita harusnya samalah dengan pandangan kepolisian tidak melakukan upaya penahanan," kata Hidayatullah kepada Erry.
Menurut Hidayatullah, kalau pertimbangan karena rasa trauma murid selaku korban yang menjadi alasan, sehingga jaksa melakukan upaya penahanan, tentu bisa diselesaikan.
"Kamu boleh berkoordinasi dengan pihak sekolah jika alasan trauma yang jadi pertimbangan. Misalnya kepala sekolah memindahkan guru yang bersangkutan untuk mengajar dulu di ruangan lain, sehingga tidak bersentuhan sementara lagi dengan si murid," ujar Hidayatullah kepada Erry.
"Jadi bijaksanalah, lakukan yang terbaik. Kalau orangtua murid yang tetap tak mau terima guru itu, kan bisa koordinasi lagi dengan Kepala sekolah agar dimediasi secara kekeluargaan," Hidayatullah menambahkan.
Hidayatullah berharap lebih jauh dalam kasus ini, Erry selaku Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bantaeng segera berkoordinasi dengan pihak Pengadilan Negeri Bantaeng agar status penahanan terhadap guru tersebut bisa ditangguhkan atau dialihkan jadi tahanan kota saja.
"Yang perlu diketahui itu alasannya apa sampai anak ini dicubit. Guru itu kan guru biologi yang mata pelajarannya bukan pelajaran yang sederhana dan tidak gampang diajari kepada murid. Jadi, cobalah koordinasi dengan pihak pengadilan agar guru tersebut bisa penahanannya segera dialihkan," ucap Hidayatullah.
Saat dihubungi Liputan6.com via telepon, Kamis (26/5/2016), Ketua Dewan Pendidikan Sulsel Adi Suryadi Culla mengatakan, sebenarnya dalam dunia pendidikan cara mendidik para guru dengan memakai kekerasan memang tidak diperbolehkan. Namun dalam kasus kekerasan terhadap anak didik di Kabupaten Bantaeng, harus juga dilihat dengan bijak.
Menurut dia, guru juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, dan semua orang pernah melakukan khilaf.
"Tapi untuk menyelesaikan masalah seperti ini, tidak perlu memakai hukum pidana. Masih ada penyelesaian secara kekeluargaan sebelum proses pidana dilakukan. Orangtua siswa dan guru bersangkutan diajak duduk bersama dan diselesaikan secara damai," ujar Adi.
Terkait hukuman terhadap guru mencubit murid, Adi menambahkan, biarkan sekolah yang memberikan surat teguran atas sanksi administrasi lainnya.
Advertisement