Liputan6.com, Purwokerto - Pedagang bir eceran se-Banyumas mendesak DPR dan pemerintah membuat regulasi penjualan bahan campuran minuman keras (miras) oplosan. Hal ini dinilai lebih baik daripada melarang pedagang berjualan bir.
"Kami minta DPR melarang penjualan secara bebas bahan kimia yang dijual di apotek sebagai bahan baku oplosan. Korban oplosan di Yogyakarta misalnya, tidak mungkin mendapatkan obat antibiotik di warung yang menjual bir," kata Sekretaris Forum Pedagang Bir se-Banyumas Nas Sabarani usai pertemuan ratusan pedagang di Purwokerto, Jawa Tengah pada Minggu, 29 Mei 2016.
Sabarani mengatakan, miras oplosan itu telah membunuh banyak nyawa. Tidak hanya korban meninggal, tetapi juga membunuh mata pencaharian pedagang bir eceran.
"Mengapa hanya kami yang dilarang berjualan bir. Seharusnya aparat juga melarang penjualan secara bebas bahan kimia yang dijual di apotik dan toko penyedia bahan kimia untuk keperluan rumah tangga yang dipakai sebagai bahan baku oplosan," tutur dia.
Baca Juga
Hingga saat ini, kata dia, memang belum ada korban jiwa akibat oplosan di sejumlah daerah di Banyumas. Namun di lapangan, masyarakat Banyumas sudah mulai mencampurkan minuman beralkohol berkandungan 40 persen dengan bahan kimia yang didapatkan di apotek.
"Mulai maraknya oplosan di Banyumas itu dikarenakan harga bir mengalami kenaikan setelah adanya regulasi pelarangan penjualan minuman beralkohol di sejumlah daerah. Masyarakat mulai mencoba meracik sendiri karena keterbatasan uang membeli bir," ujar Sabarani.
Mereka, kata Sabarani, memilih miras palsu dari luar negeri karena harganya lebih murah dari sebotol bir. Kandungan alkoholnya juga jauh lebih tinggi, sebesar 40 persen.
"Peredaran minuman beralkohol palsu ini akan semakin banyak jika RUU Pelarangan Minuman Beralkohol disahkan oleh DPR RI," ucap dia.
Anak Jadi Dokter karena Bir
Sementara itu, pedagang bir asal Jawa Tengah, Mohammad Rifai mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Minuman Beralkohol mengancam nasib pedagang eceran.
"Pelarangan penjualan bir di tingkat eceran itu tidak adil. Pedagang kecil terus dicekik. Kami dipaksa menyetorkan uang dalam jumlah tertentu kepada oknum agar bisa berjualan, sementara negara telah memungut cukai dan pajak atas produk bir," keluh Rifai.
Rifai mengatakan, banyaknya pungutan tak resmi yang harus dibayarkan menyebabkan harga bir mahal sehingga banyak konsumen yang memilih membeli oplosan.
"Apabila oplosan terus dikonsumsi karena konsumen tak mampu membeli bir, maka generasi muda Indonesia akan kehilangan daya saing dengan generasi muda dari negara lain," tutur Rifai.
Sementara itu, Nurhayati, pedagang lainnya mengatakan pelarangan menjual bir membuat anak-anaknya terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
"Anak saya yang pertama berhasil menjadi dokter dan kini sedang melanjutkan pendidikan lanjutan kedokteran. Kini saya harus berpikir cara menyekolahkan anak saya di sekolah tehnik," keluh Nurhayati.
Nurhayati mengaku, selama menjual bir bertahun-tahun lamanya, ia tidak pernah melayani anak-anak belum cukup umur dan remaja membeli bir.
Advertisement