Liputan6.com, Lamongan - Andi Setiawan (9), bocah kecil yang berasal dari Sangatta, Kalimantan Timur itu terlihat lebih berani berbicara, dibandingkan Agus Daryanto (12), yang berasal dari Blora, Jawa Tengah. Keduanya memakai kopiah hitam, baju lengan panjang, dan berkain sarung.
Tak tampak gurat kesedihan dari wajah mereka yang masih polos. Padahal keduanya telah mengalami masa lalu yang kelam, hingga “terdampar” dan menjadi santri di Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA), Lamongan, Jawa Timur.
Orangtua Andi bercerai. Ibunya kemudian membawanya pulang ke Jombang, kampung halaman ibunya. Hampir sama dengan Agus, ibunya adalah istri kedua ayahnya, yang kemudian menceraikannya. Perceraian kedua orangtua anak kecil ini membuat keduanya tumbuh menjadi anak pemberontak dan susah diatur.
Ibu kedua anak ini pasrah, lalu mengirimkannya ke Panti Asuhan Don Bosco, Surabaya. Beberapa tahun mereka di sana. Tapi, beberapa kali membuat ulah, mengamuk, berkelahi, hingga memecahkan kaca jendela panti asuhan. Panti Asuhan Don Bosco angkat tangan, dan kemudian menyerahkannya kepada pondok pesantren SPMAA.
Baca Juga
Sejak pertama kali menerima kedua anak ini, pengasuh SPMAA sudah menyampaikan kekhawatiran, andai suatu ketika kedua anak ini kemudian pindah agama dan masuk Islam. Suster yang mengantar kedua anak itu tak keberatan, dan menyerahkan pilihan keyakinan kepada kedua anak itu.
Kini, Andi telah duduk di kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) SPMAA, setingkat SD, dan Agus kelas lima. Selama penjadi santri di situ, Andi mengaku telah dua kali dijenguk ibunya. Agus, tak pernah sekalipun mendapat kunjungan kedua orangtuanya.
Namun, keduanya merasa damai tinggal di SPMAA. Mereka merasakan kasih sayang yang berlimpah dari seluruh pengasuh dan teman-teman santri yang ada di situ.
Andi dan Agus adalah segelintir dari santri yang ada di pesantren itu. Ada sekitar 500 santri, 350 di antaranya mondok dan tinggal di situ, dan sisanya pulang balik. Pondok pesantren yang terletak di desa Turi, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan ini didirikan oleh Bapak Guru MA Muchtar sejak 1961. Pondok pesantren ini gratis untuk seluruh santrinya.
Seluruh santri mendapat jatah makan dua kali, sarapan dan makan malam. Dalam sebulan pondok pesantren ini menghabiskan beras 1 kuintal, dimasak oleh para santriwati secara bergiliran.
"Abi (ayah) melihat ada banyak anak-anak yang berkualitas, namun tidak memiliki kemampuan secara finansial," kata Glory Islamic, salah satu putra dari Bapak Guru MA Muchtar, Selasa 31 Mei 2016.
Advertisement
Meskipun pesantren ini menggratiskan seluruh biaya untuk para santri, dan dengan kebutuhan keuangan yang tinggi setiap bulannya, pesantren ini pantang meminta-minta, atau mengedarkan proposal untuk menggalang dana. Mereka percaya, bahwa pintu-pintu rezeki akan selalu terbuka di jalan Allah.
"Tidak meminta-minta itu amanat dari kitab suci," jelas Gus Glory.
Mereka yang tinggal di situ bukan hanya anak-anak usia sekolah, tapi juga para lansia dan orang yang menderita sakit jiwa. Saat ini ada sekitar 20 orang lansia laki-laki dan perempuan. Sebagian dari mereka dikirim dari Dinas Sosial, terjaring di jalanan, atau dikirim oleh keluarga mereka yang tak sanggup merawat.
Mereka mendapat perawatan yang memadai, makan dan tidur yang cukup. Penderita gangguan jiwa ditempatkan secara terpisah. Perawatan diberikan oleh para santri, sekaligus menjadi ajang pembuktian bakti mereka kepada kemanusiaan.
Selain mengajarkan ilmu agama, pesantren ini juga mengajarkan bekal hidup mulai dari bercocok tanam, beternak, kerajinan tangan, hingga merawat para lansia itu. (Hartono Rakiman, kontributor Liputan6.com)