Sukses

Saat Unjuk Rasa Hantui Peserta SBMPTN di Papua

Tempat pelaksanaan SBMPTN di Papua sering menjadi sasaran aksi unjuk rasa.

Liputan6.com, Jayapura - Suasana hati Aloysius Awoitauw (18) gundah gulana. Sejak pukul 05.00 WIT, dia bersiap mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2016 di Universitas Cenderawasih (Uncen), Waena, Papua.

Kegundahannya bukan hanya menghadapi soal ujian, tetapi juga menyangkut situasi keamanan di lokasi kampusnya. Bagaimana tidak, hari pertama SBMPTN pada Selasa, 31 Mei 2016, dilaksanakan bersamaan dengan aksi unjuk rasa besar-besaran oleh massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang meminta referendum bagi Papua Barat.

"Ujian hari ini harusnya dimulai pukul 08.00 WIT, tetapi diundur hingga pukul 09.00 WIT. Agak deg-degan juga masuk ke areal kampus, tetapi syukurlah ada pengawalan aparat," ujar Aloysius, ketika ditemui di depan Gapura Uncen Waena.

Sejak dua hari lalu, Kampus Uncen Waena menjadi konsentrasi aparat kepolisian dan TNI. Rektorat Uncen sengaja meminta pengawalan, salah satunya untuk mensterilkan areal kampus dari pihak-pihak yang tak berkepentingan, sebelum dilakukannya ujian SBMPTN 2016.

Kapolresta Jayapura, AKBP Jeremias Rontini mengatakan ada 600 personel polisi dan 200 personel TNI yang saat ini menjaga Kampus Uncen.

"Untuk menjaga keamanan pada pelaksanaan SBMPTN dijaga khusus 200 personel TNI, sementara di luar kampus, polisi yang menjaga," ucapnya.  

Pengerahan pasukan gabungan di sekitar Kampus Uncen juga atas permintaan pihak rektorat, guna mengantisipasi demo besar-besaran yang hari ini dilakukan oleh massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di sekitar Kampus Uncen Waena.

Selama ini, kata Rektor Uncen Onesimus Sahuleka, kampusnya sering menjadi incaran aksi unjuk rasa kelompok KNPB. Walaupun tak berkaitan dengan permasalahan kampus, massa KNPB sering memalang Kampus Uncen dan meminta mahasiswa Uncen ikut bergabung dalam aksi tersebut. Kegiatan kampus praktis lumpuh.

"Bayangkan saja jika setiap bulan 2-3 kali kelompok ini melakukan aksinya. Maka dari itu, kami meminta aparat gabungan untuk mengatasi ini, sebab Uncen sudah darurat akan keamanan aksi unjuk rasa," ungkap Ones.

2 dari 2 halaman

Unjuk Rasa

Sebelumnya, Kampus Uncen juga ditutup untuk perkuliahan pada 23-24 Mei lalu akibat unjuk rasa yang digelar setiap hari oleh sekelompok mahasiswanya. Mereka menuntut keberpihakan penerimaan anak asli Papua 80 persen dan non-Papua 20 persen.

Sempat terjadi bentrokan antara mahasiswa dan dosen saat unjuk rasa berlangsung hingga menyebabkan seorang dosen John Kawatu, terkena lemparan batu di bagian mata. Pihak Uncen meminta aparat mengawal kampus hingga 3 Juni 2016, hingga keamanan kampus membaik dan aktivitas perkuliahan dapat berjalan kembali.

"Penyampaian aspirasi tidak dilarang, tetapi tidak boleh mengganggu kepentingan orang lain. Tetapi, aksi demo selama ini berbeda, tiap kali demo, aktivitas kampus lumpuh dan tidak terkait dengan permasalahan di kampus dalam aspirasinya," kata Ones.

Tempat pelaksanaan SBMPTN di Papua sering menjadi sasaran aksi unjuk rasa. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Terkait tuntutan aksi unjuk rasa mahasiswa yang meminta Uncen menerima 80 persen mahasiswa asli Papua dan 20 mahasiswa pendatang, Ones menyatakan Uncen telah melakukan hal itu. 

Dari 15 ribu mahasiswanya, saat ini putra asli Papua mencapai 70 persen dan sisanya 30 persen untuk pendatang. Tetapi pada penerimaan tahun 2015, untuk mahasiswa asli Papua terdapat 79 persen dan mahasiswa pendatang 21 persen.

"Sampai saat ini, Uncen tetap memprioritaskan anak asli Papua untuk dapat duduk sebagai mahasiswa Uncen," kata dia.

Sebanyak 3.909 calon mahasiswa mengikuti ujian SBMPTN yang tersebar di lima lokasi, yakni Kampus Uncen Abepura, Uncen Waena, SMP Muhammadiyah, SMA 1 Abepura dan SMP 2 Abepura.

"Karena lokasi kampus tak muat, maka kami meminjam tiga sekolah untuk ruang kelasnya. Sampai saat ini ujian berlangsung lancar," ujar Ones.  

Video Terkini