Liputan6.com, Surabaya - Komunitas Yahudi ternyata pernah bermukim di Kota Surabaya, Jawa Timur. Ini terbukti dengan adanya peninggalan berupa sinagoge atau peribadatan kaum Yahudi dan kompleks kuburan di pemakaman umum Kembang Kuning, Surabaya.
Liputan6.com belum lama ini menelusuri makam Yahudi di area pemakaman Kembang Kuning, Surabaya. Tepatnya di Blok G, di areal tanah seluas kira-kira 2.000 meter persegi juga masih didapati sejumlah makam penganut Yahudi.
Terletak di sisi utara Krematorium Kembang Kuning, sejumlah kuburan dengan arsitek klasik dan juga berpilar itu berada di pojok makam Kristen Kembang Kuning, Surabaya.
Baca Juga
Advertisement
Bangunan pemandian jenazah pun masih berdiri kokoh. Ruangan pemandian ini berukuran 4 x 3 meter dengan ornamen gambar bintang Daud menempel di atas dinding pintu masuk. Hanya lima langkah di samping kanannya adalah pemakaman Yahudi.
Baca Juga
Ritual Pemakaman
Riyanto (32), salah satu penjaga kubur di area Pemakaman Kristen Kembang Kuning mengatakan, ada yang berbeda cara pemakaman pada umumnya bagi agama Yahudi. Meski jenazah dikafani seperti tata cara pemakaman umat Muslim, peti mati jenazah diletakkan berbeda.
"Petinya yang dibalik menutup jenazah itu. Jadi jenazahnya masuk dulu di liang lahat ditaruh di atas tanah, tapi peti matinya dibalik dan ditaruh menutup jenazah di liang lahat," tutur Riyanto penjaga sekitar pemakaman Kristen Kembang Kuning saat ditemui Liputan6.com, Rabu, 9 Juni 2016.
Riyanto menambahkan, setiap yang mengunjungi pemakaman atau usai memakamkan juga sama seperti orang pada umumnya dengan memberikan uang di atas pusara dengan ditindas batu.
"Lalu uang itu diberikan kepada orang sekitar makam sini setelah ditindas batu sejenak di atas makam. Dan tentunya setelah dibacakan mantra atau doa-doa," tutur pria yang tinggal di kawasan Kupang Krajan, Surabaya.
Saudagar Ternama Bangsa Yahudi
Adanya kompleks pemakaman bangsa Yahudi di Surabaya dibenarkan Ketua Sjarikat Poesaka Soeraibaja, Freddy H. Istanto. Di Surabaya, menurut dia, ada sosok Yahudi yang kerap disebut saudagar ternama dan kaya di akhir era Kolonial Hindia Belanda.
"Yang saya tahu, dia itu orang yang memiliki showroom ternama di wilayah Jalan Pemuda, tepatnya sekarang sudah jadi Delta Plaza. Dulu di situ ada Rumah Sakit Simpang dan di sekitar daerah itu ada showroom sekaligus bengkel milik Charles Musrry, dan mobilnya (merek) ternama seperti Ford, Chevrolet," tutur Dekan Universitas Ciputra ini kepada Liputan6.com, Rabu, 8 Juni 2016.
Ia menuturkan kisah Charles Mussry, seorang yang ternama di Surabaya, berdasarkan cerita ayahnya.
"Saya juga pernah ingat betul dan mendengar cerita dari ayah saya bahwa di Surabaya pernah ada seorang yang kaya. Saat itu zamannya Belanda dan satu-satunya adalah bangsa keturunan Yahudi dan beliau adalah Charless Mussry," ujar ayah berputra dua ini.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, Charles Mussry merupakan putra dari pasangan Jacob Mussry, lelaki Yahudi asal Mesir, dan Toba Solomon Kattan. Keduanya bertemu dan menikah di Aceh. Charles Mussry dilahirkan pada 9 Oktober 1919 dan wafat pada 23 Agustus 1971 dalam usia 52 tahun. Pusaranya berada di blok kubur Yahudi di kompleks pemakaman Kembang Kuning, Surabaya.
Advertisement
Sinagoge Tinggal Kenangan
Nasib pemakaman Yahudi tersebut berbeda dengan bangunan sinagoge atau tempat peribadatan Yahudi di Surabaya. Menurut Freddy, sinagoge di Surabaya yang kini tinggal kenangan adalah satu-satunya di Indonesia. Sinagoge itu tadinya berdiri di Jalan Kayon, Surabaya.
Sejarah mencatat, tempat ibadah Yahudi tersebut dibangun di atas Eigendom Verponding. Bangunan mirip rumah berarsitektur Eropa itu didirikan oleh Joseph Ezra Izaak Nassiem pada 1948.
Kini sinagoge satu-satunya tersebut telah rata dengan tanah. Area seluas 2.000 meter itu akan dijadikan lokasi sejumlah bangunan baru, termasuk hotel. Terlepas dari soal keyakinan, Freddy menyayangkan bangunan yang masuk cagar budaya itu hancur.
"Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Pasal 104 dan 105, bangunan yang termasuk cagar budaya dilarang keras dibongkar, dan ada denda bagi siapa pun yang berusaha membongkarnya," tutur Dekan Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra Surabaya ini kepada Liputan6.com, beberapa hari lalu.
Sebelumnya bangunan tersebut sempat disegel menyusul demonstrasi yang digelar di tengah konflik Palestina dan Israel yang kembali terjadi, meski sejatinya bukan agama yang sedang berseteru di sana.
Selain itu, sinagoge tersebut awalnya digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Yahudi. "Saya sendiri mencoba menelusuri keturunan mereka (Yahudi) tidak ada yang tahu dan saya coba hubungi orang yang pernah tinggal di sinagoge, itu tidak mengangkat (telepon)," kata Freddy sambil sesekali mencoba menghubungi kerabatnya melalui telepon seluler.
Arsitektur Sinagoge
Freddy menyatakan tak banyak yang bisa dikupas tentang sejarah Yahudi di Kota Pahlawan. Namun, ia mencoba mengupas dari segi rumah sinagoge lantaran makam Yahudi di Surabaya tidak terlalu istimewa.
"Tetapi yang membuat istimewa memang bangunan sinagoge ini awalnya hanya rumah biasa yang ada di kawasan Jalan Kayon. Istimewanya saat itu justru digunakan sebagai tempat ibadah," kata Freddy H. Istanto kepada Liputan6.com.
Ia menambahkan, sinagoge itu dari arsitektur rumahnya hanya terlihat pada daun pintu yang besar dan dipenuhi simbol bintang Daud. Bangunan kuno itu dulunya berlanggam Indische Imperial gaya arsitektur akhir abad 18. Tegel teraso bermotif bunga, ada juga kursi-kursi rotan, altar jati berukir, hiasan dinding bertuliskan bahasa Ibrani, dan alat-alat ritual dari logam.
"Saksi peradaban itu yang pernah lahir dan pernah besar di negeri ini, tapi ya itu sekarang entah ke mana semuanya," ujar Freddy.
Selain itu, menurut dia, arsitek rumah peninggalan zaman Belanda itu memang menyesuaikan cuaca di Indonesia. "Lihat saja jendelanya yang dibuat tinggi memanjang ke atas," tutur Freddy.
"Itu dimaksudkan agar cahaya pagi yang masuk ke rumah lebih banyak, juga angin lebih banyak masuk ke rumah. Artinya di Belanda memang cuacanya dingin, sedangkan di Indonesia cuacanya kan tropis lembab, kadang panas berlebih jadi desainnya memanfaatkan agar maksimalnya masuknya cahaya, serta perlunya penghawaan yang sejuk," Freddy memaparkan.
Pakar arsitektur ini menambahkan untuk gaya bangunan rumah Belanda di Surabaya rata-rata memang mengadopsi gaya klasik.
"Pilar yang penyangga atap dan ada di sejumlah rumah Belanda atau sinagoge sendiri tergolong klasik, ada tritisan (sosoran) di bagian atap depan rumah sebagai penghalang air masuk kalau hujan datang," ia menambahkan.
Untuk desain jendelanya sendiri juga sangat berfungsi bagi kehidupan sehari-hari. "Dengan terali angin yang bersaf-saf bertujuan agar nyamuk atau serangga tak masuk ke rumah dengan diberi kasa, tetapi udara dari luar tetap masuk," kata Freddy sembari menunjukkan foto pintu di bagian lain sinagoge yang pernah berdiri tersebut.
Advertisement