Liputan6.com, Denpasar - Puluhan jamaah Masjid Al-Muhajirin di Kampung Islam Kepaon Denpasar duduk melingkar. Sejurus kemudian, mereka berebut menyantap panganan di nampan besar secara bersamaan.
Satu kelompok terdiri dari enam hingga tujuh orang. Dalam kelompok juga terbagi antara orangtua, remaja dan anak-anak. Ya, itulah tradisi megibungan yang telah terawat turun temurun di Kampung Islam Kepaon Denpasar. Megibungan merupakan santap berbuka bersama-sama.
Sebelum memulai megibungan, terlebih dahulu warga membatalkan puasanya. Usai itu mereka melakukan Salat Magrib berjamaah. Barulah tradisi megibungan dimulai.
Megibungan merupakan kosa kata Bahasa Bali. Artinya, makan bersama-sama dalam satu wadah.
Tokoh masyarakat setempat, Ishaq Ibrahim, menjelaskan megibungan digelar tiap kelipatan 10 hari Ramadan. Dalam satu bulan Ramadan, tradisi megibung dilakukan tiga kali, yakni pada hari kesepuluh Ramadan, hari kedua puluh Ramadan dan hari ketiga puluh Ramadan.
Asal muasal tradisi megibungan ini, Ibrahim menceritakan, bermula ketika Islam masuk ke Bali. Kala itu, banyak umat Muslim Nusantara dari berbagai suku bermukim di Bali mulai dari Melayu, Jawa, Madura, Bugis, dan Lombok dan serta sejumlah wilayah lainnya.
Baca Juga
"Mereka kemudian berpikir untuk menyatukan diri. Dibuatlah sebuah paguyuban," kata Ishaq ditemui di sela pelaksanaan tradisi megibungan, Rabu, 15 Juni 2016.
Salah satu program kerja paguyuban adalah mengkhatamkan Alquran tiap Ramadan. "Kalau kita khatam Al-Quran pertama dibuatkan tasyakuran," tutur dia.
Lantaran jumlah anggota paguyuban terus berkembang, tiap kali tasyakuran digelar dilakukan dengan cara makan bersama. "Makan bersama itulah yang dinamakan megibung," ucap dia.
Megibung bukan tak memiliki makna atau sekedar makan bersama belaka. Kala itu, ketika paguyuban dibentuk, suasana Indonesia dalam penjajahan Belanda. Tujuan megibung adalah untuk mempersatukan umat Muslim Bali agar tak tercerai berai.
Jika sudah bersatu, Ishaq melanjutkan, akan sulit dihancurkan oleh Belanda. "Tujuannya supaya kita jangan mau dikalahkan sama Belanda. Dulu dia itu rukun. Kita jangan mau dipecah belah. Kita ini saudara," kata dia.
Atraksi Budaya
Tradisi itu dilestarikan hingga kini dan menjadi atraksi budaya. Tak sedikit warga yang menyempatkan diri hadir untuk sekadar menyaksikan jalannya tradisi yang terajut sekian lama itu. Agar tradisi ini terus lestari, Ishaq mengaku tiap megibung digelar, selalu diikutsertakan anak muda dan anak-anak.
"Jadi, dalam satu tempat makan ada orang tua, remaja dan anak-anak," tutur dia.
Soal menu makanan, warga dengan sukarela memberikan sumbangan kepada jamaah masjid. Sebelum tradisi ini dimulai didahului dengan berbuka puasa bersama.
Makanan dan minuman ringan disajikan. Usai itu, mereka terlebih dahulu melaksanakan shalat Maghrib. Usai sholat, barulah tradisi ini dilaksanakan.
Tanpa dikomando, tua muda sudah duduk melingkar bersama kelompoknya. Usai membaca doa bersama, santap malam pun dilangsungkan. Tak ada rasa jijik. Semua menu makanan yang disajikan disantap dengan lahap.
"Setiap tahun saya ikut tradisi megibung ini," ucap seorang remaja bernama Sayuti. Sayuti mengaku sejak kecil sudah diajak oleh orangtuanya berbuka puasa bersama ala megibung.
Hal senada diutarakan Muhammad Abdullah, bocah yang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Sejak ia menginjak sekolah dasar, Abdullah selalu mengikuti tradisi ini saban tahunnya. "Senang ikut megibung. Sudah dari kelas 1 SD ikutnya," kata Abdullah.
Advertisement