Sukses

Mimpi dan Ritual Aneh Supriyanto Si Pembongkar Makam Ibunda

Saat 40 hari kematian perempuan yang meninggal pada 14 April 2016 itu, Supriyanto mengajak teman-temannya untuk membongkar makam ibundanya.

Liputan6.com, Temanggung - Misteri motif di balik pembongkaran makam Parimah oleh anaknya sendiri, Supriyanto, masih gelap. Meskipun Polres Temanggung sudah mendapatkan pengakuan sementara bahwa mayat Parimah itu hendak dihidupkan lagi.

Namun sampai sekarang belum terungkap, apa yang mendasari perbuatan Supriyanto.

Kapolres Temanggung Ajun Komisaris Besar Polisi Wahyu Wim Hardjanto menyebutkan, dari beberapa kali pemeriksaan, Supriyanto selalu mengaku bahwa Parimah (70), bisa hidup kembali.

"Ia meyakini bahwa almarhum suatu saat akan sadar dari pingsannya dan kembali menemaninya," kata Wahyu di Temanggung, Jawa Tengah, Jumat 24 Juni 2016.

Bagaimana cara Supriyanto menggelar ritual agar Parimah bisa hidup lagi?

Menurutnya, ini diawali dari sebuah mimpi yang diyakini sebagai wangsit atau bisikan gaib bahwa Parimah hanya pingsan. Supriyanto yang sering berkumpul dengan teman-temannya kemudian mengungkapkan dan menyatakan ia yakin ibunya hanya pingsan.

2 dari 2 halaman

40 Hari

Saat 40 hari kematian perempuan yang meninggal pada 14 April 2016 itu, Supriyanto kemudian mengajak teman-temannya untuk membongkar kuburan tersebut.

Menurut paranormal asal Temanggung Wardoyo, biasanya pembongkaran mayat pada usia 40 hari setelah dimakamkan itu tujuannya untuk pesugihan atau kesaktian.

"Saya baru mendengar ini, jika bisa dihidupkan. Mungkin itu sejenis aliran yang tidak lazim," kata Wardoyo kepada Liputan6.com.

Setelah makam dibongkar, jasad Parimah kemudian dibaringkan pada sebuah dipan. Jasad Parimah kemudian dialasi tikar plastik dan plastik agar cairan busuk tak menyebar. Selain itu, mayat yang mulai menghitam dan kain kafannya masih utuh itu juga disemprot dengan wewangian.

Hal ini diceritakan oleh seorang teman Supri yang ikut diperiksa polisi, Iswanto.

"Itu mungkin salah satu syarat. Saya kurang tahu. Saya hanya membantu membongkar dan membawa pulang," kata Iswanto.

Ritual Tanpa Sesaji

Setelah jasad dibaringkan di kamar, Supriyanto dan para pengikutnya kemudian menggelar ritual. Ritual ini tanpa sesaji dan hanya membacakan mantera atau doa-doa. Hanya saja doa yang dibacakan menggunakan bahasa Jawa yang tidak lazim dengan kosakata yang aneh.

"Bahasanya Jawa. Tapi saya banyak yang tidak tahu," tutur Iswanto.

Pembacaan mantra dan gelaran ritual ini, kata dia, sebenarnya bukan hanya pada malam Jumat kliwon atau Selasa kliwon saja. Namun pada dua hari itu, intensitasnya meningkat. Lebih lama dari biasanya. Bahkan sampai menjelang subuh.

Adapun nama 'Supri Ngrancang Kencono' seperti yang tertulis dalam sebuah kain kafan dan ditempel di salah satu sudut rumahnya, bukanlah merujuk pada ajaran atau aliran yang diyakininya. Namun sekadar menunjukkan asal-usul Supriyanto, yakni dari Dusun Ngrancang, Desa Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Video Terkini