Liputan6.com, Temanggung - Aksi Supriyanto (47), warga Dukuh Ngrancang, Desa Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menyimpan jasad ibundanya, Parimah (70) membongkar praktik ritual aneh yang dijalani lelaki paranormal itu. Salah satunya adalah kebiasaan bersemedi.
Berdasarkan pemeriksaan polisi, Supriyanto dan dua temannya menjelaskan tempat yang paling sering didatangi untuk bersemedi adalah petilasan Prabu Angling Dharma. Namun, ia menolak menjelaskan secara detail mengenai petilasan itu.
"Ya hanya menyepi saja di petilasan Prabu Angling Dharma," kata Supri, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, petilasan Angling Dharma terletak di sebuah musala yang bersebelahan dengan makan di Desa Mergowati. Lokasi desa itu berada di sebuah bukti anak Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Ada sebuah gapura berwarna hijau-kuning dengan tulisan huruf Jawa berbunyi "Paseban Agung Malawapati" sebagai penanda pintu masuk. Pada hari-hari tertentu, petilasan itu ramai dikunjungi peziarah. Menurut warga, mereka yang datang biasanya memiliki keinginan yang berhubungan dengan kekuasaan.
"Banyak yang sengaja datang untuk kepentingan tertentu, apalagi menjelang pemilu, pilkada, atau pilkades, mereka yang akan nyalon banyak yang ke sini," kata Ngatino, salah satu pengunjung, Minggu, 26 Juni 2016.
Tidak ada yang tahu persis sejak kapan ritual di petilasan itu mulai dilakukan. Namun, keramaian peziarah memang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Padahal, di depan petilasan terdapat sebuah peringatan yang mencegah para pengunjung bertindak musyrik.
Baca Juga
"Kepada semua peziarah jangan terpengaruh dengan hiasan yang ada – Di sini tempat untuk mujahadah, zikir, dan berdoa kepada Allah SWT – Berdoa kepada selain Allah SWT hukumnya musyrik/syirik.
Selain papan berisi maklumat, ada pula penjelasan singkat terkait tempat tersebut. Informasi tertulis mengungkapkan tempat tersebut bernama Paseban Agung Malowopati yang dibangun oleh Keluarga Besar Padepokan Panembahan Ki Bodo Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah.
Tempat tersebut dibangun pada Sabtu Kliwon pada 7 Juli 2007. Papan informasi juga mengungkapkan silsilah Raja Malowopati yang dimulai dari Prabu Kresnadipayana/Kaki Abiyasa sampai yang terakhir Prabu Darmakusuma atau Prabu Anglingdarma yang juga dipercaya sebagai Syeh Sulaiman.
Ngatino menuturkan, bangunan megah itu merupakan tanda terima kasih salah seorang peziarah yang sukses, setelah menyepi dan bersemedi di tempat ini. Ia sendiri mendatangi tempat itu mengaku agar diberi kelapangan menjalani hidup.
"Hanya ingin semua dilancarkan saja. Rezeki dan juga semua tentang hidup," kata Ngatino.
Siapakah Angling Dharma?
Angling Dharma adalah salah satu tokoh dalam legenda rakyat. Ia diyakini sebagai titisan Bathara Wisnu yang lahir dari Dyah Pramesti, putri Prabu Jayabaya. Saat dewasa, Anglingdarma membangun Kerajaan Malawapati.
Saking sayang dan hormat pada sang ibu, ia memboyong ibunya ke kerajaan barunya. Angling Dharma berpermaisuri Dewi Setyawati, putri Resi Maniksutra. Lagi-lagi karena sayang dan hormat pada keluarga, kakak iparnya yang bernama Batikmadrim kemudian diangkat sebagai patih.
Dalam legenda yang hidup di masyarakat Desa Bojonegoro, hidup Angling Dharma nyaris sempurna. Hingga suatu ketika, ia mengingkari janji sehidup semati dengan istrinya. Saat istrinya melakukan pati obong -meloncat ke bara api dalam keadaan hidup- Angling Dharma urung mengikutinya.
"Ia menggantinya dengan meninggalkan istana dan berkelana. Angling Dharma dikutuk oleh tiga putri siluman menjadi seekor belibis putih yang membawanya terbang ke Bojonegoro bertemu dengan Dewi Ambarwati, putri Prabu Dharmawangsa," kata Ngatino.
Singkat cerita, Dewi Ambarwati jatuh cinta kepada sang belibis putih karena bila malam hari berubah wujud menjadi pemuda tampan. Akibatnya, Dewi Ambarwati hamil dan membuat Prabu Dharmawangsa marah. Sang Prabu kemudian mengutus seorang pertapa bernama Resi Yogiswara untuk mengalahkan belibis putih yang sakti.
Belibis sakti akhirnya dikalahkan dan kembali berubah wujud menjadi Angling Dharma, sedangkan Resi Yogiswara berubah wujud menjadi Batikmadrim yang memang akan menjemput Anglingdarma karena masa hukuman lelana brata sudah selesai. Angling Dharma kemudian memboyong Dewi Ambarwati ke Malawapati untuk menjadi permaisuri menggantikan Dewi Setyowati.
Advertisement
Bau Jasad Samar
Menurut polisi, Supriyanto ditangkap berdasarkan laporan masyarakat yang curiga dengan bau dari dalam rumah Supri. Namun menurut pengakuan Mugiyat (65) ayah tiri Supriyanto, ia sempat diminta membuka tali pocong Parimah. Sejak itulah tersebar berita Supriyanto menyimpan mayat Parimah di rumahnya.
"Iya sempat minta tolong, tapi saya tolak," kata Mugiyat kepada Liputan6.com.
Menurut Mugiyat, bau yang keluar dari mayat yang masih berbentuk pocong ini juga tidak begitu menyengat. Kondisi itu mendatangkan tanya mengingat Parimah meninggal sejak 14 April 2016 atau 40 hari saat jasadnya diambil dari dalam kubur pada 25 Mei 2016 dan disimpan di rumah hingga Selasa, 21 Juni 2015.
Namun, penjelasan ilmiah disampaikan Jauhari Setyawan, dokter yang memeriksa kondisi mayat. Menurut dia, ditemukan upaya pengawetan secara kimiawi seperti dengan menyemprotkan wewangian.
"Kondisi mayat berkelamin perempuan itu seperti kering, rambutnya panjang berwarna putih," kata dr Jauhari Setiawan.
Supriyanto mengajak rekan-rekannya membongkar makam ibunya malam pukul 00.00 WIB sampai 03.00 WIB pada 25 Mei 2016. Mayat berbentuk pocong itu lalu dibawa pulang ke rumahnya dan diletakkan di kamar rumah selama sebulan.
Saat membongkar kuburan, Supri dibantu Iswanto warga Janggar, Kecamatan Jumo, Prayit warga Kabunan Bandunggede, Kecamatan Kedu, Kamto dan Lan warga Bandunggede Kedu, Sumadi warga Jumo, Pangat warga Tegal Parakan Gemawang, dan Wahono warga Strobayan Ngadimulyo.
Meski demikian, polisi baru memeriksa tiga pelaku, yakni Supriyanto, Iswanto, dan Prayit. Pembongkaran mayat menggunakan dua cangkul. Lalu mayat dipanggul menggunakan bambu setelah dikaitkan dengan tali tambang di usung dari makam desa menuju rumahnya.
"Saya melakukan itu setelah mendapat firasat sering ditemui lewat mimpi. Ibu saya sakit dan mau saya sembuhkan. Saya rawat di rumah, karena kasihan sama orang tua. Niatnya, supaya bisa sembuh seperti semula, dan hendak meyakinkan itu benar meninggal atau hanya pingsan," kata Supri.
Di rumah Supriyanto sendiri menjadi horor, apalagi disana terdapat sejumlah alat musik seperti kendang, kenong, kempul, lalu ada keyboard, drum. Di dinding rumahnya terpasang foto raja-raja Mataram, foto keluarga, dan foto sejumlah anggota TNI.