Sukses

Bukti Kesultanan Ternate Pusat Peradaban Islam di Maluku

Pusat Islamisasi di Maluku itu kini terancam industrialisasi pertambangan.

Liputan6.com, Ambon - Arkeolog Wuri Handoko dari Balai Arkeologi Ambon mengatakan Kecamatan Kao, di Kabupaten Halmahera Utara potensial untuk menjelaskan sejarah Islamisasi dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate pada masa lampau.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan pesisir utara Pulau Halmahera, dalam hal ini diwakili oleh daratan dan pesisir Kao, potensial untuk menjelaskan sejarah Islamisasi, perdagangan dan perkembangannya masa kemudian, data arkeologi setidaknya dapat mendukung informasi sejarah yang selama ini sudah banyak diungkap," kata Wuri, di Ambon, dilansir Antara, Senin, 27 Juni 2016.

Ia mengatakan, berdasarkan data temuan Balai Arkeologi Ambon, Kao merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate yang cukup penting posisinya dalam mendukung eksistensi Ternate sebagai pusat peradaban Islam di Kepulauan Maluku.

Kisaran abad 16 Masehi merupakan periode yang sangat penting bagi wilayah itu dalam konteks perkembangan niaga dan proses penyebaran Islam, yang kemudian menempatkannya sebagai salah satu pusat peradaban dan perkembangan Islam di jazirah Halmahera Utara.

Terbentuknya kantung-kantung pemukiman Islam pada masa lampau baik di kawasan pesisir maupun pedalaman, sebagai bentuk perkembangan Islam di Kao, beberapa di antaranya masih bisa ditemukan saat ini.

"Wilayah Halmahera Utara melalui eksistensi Islam di tanah Kao sebagai bagian dari kekuasaan Ternate, merupakan wilayah jejaring niaga dalam perkembangan Islam dan perkembangan ekonomi politik Kesultanan Ternate," ucap Wuri.

Ahli kepurbakalaan Islam itu mengatakan penelitian di wilayah pesisir timur Halmahera Utara, setahun yang lalu, menemukan indikasi adanya pemukiman kuno di daerah aliran sungai (DAS) Akejodo, Kecamatan Kao.

Dari hasil wawancara dengan penduduk Desa Kao, pemukiman tua yang di dalamnya terdapat situs pemakaman kuno komunitas Muslim tersebut merupakan bekas kampung mereka sebelum tinggal di pesisir pantai sekarang ini.

"Situs pemukiman kuno tersebut perlu dikelola dengan lebih baik, di tengah kuatnya isu industrialisasi tambang yang dapat mengancam keberadaannya," kata Wuri.

Selain pemakaman kuno, di wilayah Kao juga terdapat situs pemakaman yang populer, yakni situs makam di Desa Popon, milik Syekh Al Mansyur dari Bagdad, Irak, atau Buqudat dalam penyebutan masyarakat setempat, yang dipercaya sebagai penyiar Islam pertama di Kao.

Sekitar 350 meter dari makam Syekh Al Mansyur terdapat komplek pemakaman istri beserta kerabat dan pengikutnya. Sedikitnya ada sembilan makam di situs yang dinamakan Gamsungi itu. Menurut Wuri, lokasi tersebut potensial untuk objek studi lapangan dan wisata religi.

"Karena itu diperlukan manajemen situs yang lebih terpadu, agar dapat menjadi aset pembangunan daerah di bidang pariwisata, kebudayaan dan pendidikan. Selain itu juga harus berpihak kepada masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat atas wilayah adatnya," ucap Wuri.