Sukses

Cap Jempol Darah untuk Tolak Tambang Batu Bara Bawah Tanah

Jika aktivitas tambang batu bara tak juga dihentikan, warga mengancam mengirimkan cap jempol darah kepada Jokowi.

Liputan6.com, Bengkulu - Sebanyak 650 orang warga Kecamatan Merigi Kelindang dan Merigi Sakti, Kabupaten Bengkulu Tengah, menggalang cap jempol darah dan tanda tangan menolak aktivitas tambang batu bara bawah tanah.

Koordinator aksi, Indra Jaya yang juga Sekretaris Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk menegaskan, aksi ini merupakan lanjutan dari aksi demo berdarah yang mengakibatkan lima  warga dan satu polisi terluka.

"Telah terjadi pengabaian oleh Pemerintah Daerah terhadap warga yang telah berjuang sampai berdarah-darah menuntut hak atas lingkungan," ujar Indra di Bengkulu, Kamis (14/7/2016).

Warga memberikan tenggat waktu hingga 20 Juli mendatang kepada pemerintah daerah setempat untuk bersikap. Jika aktivitas pertambangan itu tidak juga dihentikan, mereka akan mengirimkan cap jempol darah itu kepada Presiden Joko Widodo.

Sebagai simbol perlawanan, Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk juga mengibarkan bendera raksasa berukuran 10 x 20 m di Desa Durian Lebar, Kecamatan Merigi Sakti, Kabupaten Bengkulu Tengah.

Itu merupakan bagian aksi penolakan warga terhadap aktivitas perusahaan tambang batu bara dengan sistem bawah tanah yang beroperasi di wilayah desa Lubuk Unen, Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah.

Penolakan ini disebabkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat tambang batu bara itu. Kekhawatiran itu didasarkan dampak buruk yang dirasakan warga desa lain, yaitu desa Kota Niur, Kecamatan Taba Penanjung, Bengkulu Tengah. Di desa itu banyak lahan masyarakat yang ambruk akibat penambangan batu bara bawah tanah.

Terpisah, Direktur Eksekutif WALHI Bengkulu, Beni Ardiansyah menyatakan, pemujaan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi telah menjadikan pemerintah abai terhadap hak masyarakat atas lingkungan yang lebih baik.

Padahal, dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dengan demikian, pengakuan hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai hak asasi setiap warga negara di Indonesia dan hak konstitusional bagi setiap warga Negara. Maka itu, seluruh pemangku kepentingan wajib melindungi dan mengelola lingkungan hidup yang berkelanjutan.