Sukses

Polda Sulsel Puasa Bicara Korupsi Diduga Libatkan Bupati Cantik

Anggota Polda Sulsel mengaku takut dicopot jika bicara kasus korupsi, termasuk korupsi yang diduga melibatkan bupati cantik dari Luwu Utara.

Liputan6.com, Makassar - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel kini puasa bicara soal perkembangan penanganan kasus korupsi yang telah ditangani hingga saat ini. Termasuk, perkembangan kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani.

Kasus dugaan korupsi pengelolaan dana intensif daerah (DID) Kabupaten Luwu Utara (Lutra) sebesar Rp 24 miliar yang bersumber dari APBN melalui Kementerian Keuangan 2011 mulai ditangani Polda Sulsel pada tahun ini.

Menurut Direskrimsus Polda Sulsel, Kombes Herry Dahana mengatakan pihaknya tak bisa lagi mengekspose setiap perkembangan kasus korupsi yang telah ditangani sebelum kasus dinyatakan rampung alias P21.

"Ada instruksi Presiden RI yang di mana aparat penegak hukum baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan untuk tidak mengekspose kasus ke media sebelum dinyatakan rampung alias P21. Jadi, saya minta maaf tidak bisa banyak bicara saat ini," kata Herry, Kamis, 21 Juli 2016.

Dia berharap media tidak lagi mendesaknya untuk berbicara mengenai perkembangan seluruh kasus korupsi yang masih ditangani pihaknya sebelum kasus telah rampung dan dinyatakan masuk ke tahap penuntutan.

"Saya bisa dicopot dan kalau sudah dicopot kamu yang dapat berita," ucap Herry.

Aksi puasa bicara itu menuai kritikan dari para penggiat antikorupsi. Salah satunya lembaga binaan Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad serta pengamat hukum di Sulsel.

Direktur Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi, Abdul Muthalib kepada Liputan6.com mengatakan sikap yang diperlihatkan Direktur Reskrimsus Polda Sulsel tersebut merupakan bukti kekakuan dalam menafsirkan instruksi Presiden yang sifatnya hanya intruksi biasa.

"Saya kira ini hanya instruksi biasa dan tidak dicatat dalam lembaran negara. Kalau dicatat dalam lembaran negara berarti ada nomor inpresnya," kata Muthalib.

Namun, lanjut Muthalib, jika kemudian instruksi Presiden itu dianggap serius oleh penegak hukum, sebaiknya penegak hukum juga mempertimbangan tentang hak setiap warga memperoleh informasi.

"Penegakan hukum dan kasus korupsi bisa berjalan efektif jika ada peran serta masyarakat dan itu jelas diatur dalam UU Tipikor. Saya kira himbauan Presiden tersebut bukan berarti membatasi peran serta masyarakat dalam mengawal kinerja penegak hukum terkhusus dalam konteks pemberantasan korupsi," ujar Muthalib.

Lebih lanjut, kata dia, ACC Sulawesi sebagai lembaga penggiat antikorupsi di Sulawesi akan menyurati Presiden Jokowi untuk meminta penjelasan dan klarifikasi terkait penyataan Direktur Reskrimsus Polda Sulsel dengan melampirkan berita-berita pernyataannya.

"Minggu ini, kami kirim surat tersebut secara resmi ke Presiden dan Mabes Polri serta Kejaksaan," kata Muthalib.

2 dari 2 halaman

Diskresi Tidak Bisa Dipidana?

Pakar hukum Universitas Bosowa Sulsel, Marwan Mas juga mengaku terkejut dengan adanya pelarangan mengekspose kasus-kasus korupsi oleh kepolisian dengan dasar instruksi Presiden RI.

"Saya juga tersentak dengan larangan itu karena itu tidak bisa dihambat. Ada hak masyarakat untuk mengetahui sejauh mana kasus korupsi itu diproses dan ditangani," kata dia.

Menurut Marwan, dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, ada hak masyarakat yang ingin tahu sejauh mana kasus ditangani di kepolisian maupun kejaksaan.

"Caranya bisa diketahui melalui penyidiknya langsung atau melalui wartawan (media). Karena pers atau wartawan mempunyai tugas untuk mengawal dan memberikan perkembangan kasus yang ditangani dengan betul dan tuntas," kata Marwan.

Dengan demikian, Marwan menegaskan sikap puasa bicara yang dilakukan oleh Direktur Reskrimsus Polda Sulsel bertentangan semangat pemberantasan korupsi.

Hal menarik lainnya soal diskresi yang juga menjadi salah satu poin dalam instruksi Presiden yang dimana diskresi itu tidak bisa dipidana. Menurut Marwan, hal itu sebetulnya sudah diatur dalam Pasal 385 Ayat 3, 4, dan 5 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Dalam ayat (3) dinyatakan bahwa aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah non-kementerian yang membidangi pengawasan.

Selanjutnya pada ayat (4), kata Marwan, dijelaskan bahwa jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah.

Kemudian pada ayat (5): Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Artinya, kata Marwan, kalau ada laporan dari masyarakat (LSM) terkait korupsi yang diduga dilakukan pejabat daerah (aparatur sipil negara), penyidik (polisi, kejaksaan, dan KPK) harus berkoordinasi terlebih dulu dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau Inspektorat Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Kalau hasil koordinasi ditemukan bukti ada penyimpangan atas suatu kebijakan/diskresi pejabat daerah yang bersifat administratif, prosesnya diserahkan kepada APIP untuk diselesaikan dengan mengganti uang negara karena tidak ada tindak pidana korupsi.

Namun, kalau berdasarkan hasil koordinasi itu ditemukan penyimpangan yang bersifat pidana, prosesnya diserahkan kepada penyidik untuk diproses hukum.

"Jadi, kebijakan/diskresi dapat saja diproses hukum secara pidana kalau kebijakan atau diskresi itu melanggar hukum atau karena penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat daerah yang bersangkutan. Sebetulnya, begitulah makna Instruksi Presiden karena dasar hukumnya sudah ada dalam Pasal 385 UU Pemda," tutur Marwan.

Ia berharap ada koordinasi dan sinergi antara penyidik dan APIP (Inspektorat Daerah) dalam menangani kasus korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat atau organisasi masyarakat terkait kebijakan/diskresi dalam penyerapan anggaran di daerah yang diduga terjadi penyimpangan yang menyebabkan kerugian keuangan negara/daerah tersebut.