Sukses

Dilema Ibu Pengidap Kanker Rawat Anak Lumpuh 23 Tahun

Ketangguhan ibu pengidap kanker semakin diuji saat suaminya meninggal karena stroke.

Liputan6.com, Semarang - Dia adalah Agustina. Seorang ibu rumah tangga yang sejak April 2016 menjanda. Warga Kampung Dawung RT 3 RW 3, Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Semarang, ini sudah 23 tahun merawat anaknya yang lumpuh.

Meskipun mengidap kanker serviks, Agustina tak pernah mengeluh kala merawat Caesar Winugrah. Caesar adalah anak semata wayang pasangan (alm) Sukiman dengan Agustina. Sudah 23 tahun Caesar hanya bisa berbaring di tempat tidur karena lumpuh.

Ketika diminta menceritakan kanker serviks yang dideritanya, Agustina mengelak. Ia lebih suka bercerita tentang Caesar. Sejak awal, ia dan suami memang tidak suka membicarakan penderitaannya.

"Prinsip saya dan suami, kami akan berusaha menyembunyikan penderitaan kami. Biar kami atasi sendiri," kata Agustina kepada Liputan6.com, Senin (1/8/2016).

Agustina menuturkan, putranya menderita kelainan tulang belakang sejak berumur 8 bulan. Agustina dan almarhum suami terlambat mengetahui kelainan tulang belakang Caesar. Akibat kelainan itu, tulang belakang Caesar rapuh dan lemah, sehingga Caesar tidak mampu mengangkat kepalanya dan menggerakkan anggota tubuhnya yang lain.

"Lahirnya normal dan sehat. Suatu saat ketika periksa rutin di rumah sakit, ternyata Caesar tidak mampu mengangkat kepalanya seperti anak lain," kata Agustina.

Sejak teridentifikasi, Caesar harus mengikuti fisioterapi dua kali dalam seminggu. Ketelatenan Sulaiman-Agustina rupanya harus terhenti setelah dijalani 11 tahun.

"Rumah sudah dijual, uang sudah habis. Terpaksa terapi kami hentikan," kata Agustina beralasan.

Setelah 11 tahun menjalani terapi, Caesar akhirnya melanjutkan hidup di atas tempat tidur dalam 12 tahun terakhir. Selama itu, ia tidak pernah mencicipi bangku sekolah. Selama itu pula, Agustina mengaku tak pernah meminta bantuan pada siapa pun. Semua ia lalui bersama sang suami dalam senyap.

"Prinsip saya dan suami memang untuk tidak meminta bantuan walau kami kesusahan," kata Agustina.

April 2016 adalah babak baru di kehidupan Agustina. Sukiman, sang suami, meninggal dunia karena stroke.

"Sejak Bapak meninggal, saya tak bisa lagi mencari nafkah. Biasanya dulu itu kan berjualan bubur sayur. Sekarang ya fokus menemani Caesar. Kasihan dia," kata Agustina.

2 dari 2 halaman

Hadapi Dilema

Meski didera cobaan, Caesar tetap bersemangat melatih diri agar bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan, ia juga bisa berkomunikasi dengan baik.

"Sudah bisa miring. Tapi susah dan butuh waktu lama," kata Caesar susah payah.

Entah bermanfaat atau tidak, Caesar juga belajar bahasa. Kini ia sudah dapat memahami nama-nama binatang dan kosakata lain dalam bahasa Inggris. Semua dilakukan sendirian melalui siaran televisi yang ditontonnya.

Agustina saat ini sedang dilanda kegelisahan. Kanker serviks yang diidapnya semakin menyiksa, tapi ia berkukuh tak mau dioperasi. Bukan persoalan takut tak bisa membayar karena ia meyakini bahwa jika Tuhan berkehendak, masalah keuangan akan selesai dengan sendirinya.

"Saya takut jika saya operasi, siapa yang akan merawat Caesar. Bahkan saat saya meninggal, siapa nanti yang akan merawat Caesar," kata Agustina.

Butiran air mata yang sudah terbendung di kelopak itu pun jebol menjadi dua sungai kecil di pipinya. Agustina menangis. Ia tak takut mati. Ia tak takut miskin. Yang ia khawatirkan adalah keberlanjutan hidup Caesar yang memang tidak bisa apa-apa.

Agustina kemudian menyampaikan rencananya. Jika fisiknya sudah tak lagi kuat, ia akan tinggal di panti jompo. Pilihan itu karena tak ada yang bisa merawatnya di saat tua.

"Yang masih menjadi ganjalan saya, bagaimana nanti Caesar? Itu yang membuat saya sering tak bisa tidur di malam hari."

Atas hal ini, Ketua RW Dawung Kedungpane, Sungkono, berharap negara bisa hadir mengatasi masalah Agustina.

"Semoga negara melalui pemerintah kota maupun daerah bisa membantu warga kami ini. Sebagai warga kami juga sudah membantu semaksimal mungkin," kata Sungkono.

Menurut Sungkono, jika sekadar untuk kebutuhan harian, khususnya makan, warga sanggup membantu. Hanya karena durasi yang sangat lama, warga menyerah.

"Karena sudah beberapa tahun, kami tidak sanggup lagi," kata Sungkono.