Sukses

Air Mata Eks Tapol PKI Saat Rayakan HUT RI

Dikucilkan anak hingga tak diberitahu kesalahan adalah beban yang ditanggung para eks tapol PKI.

Liputan6.com, Balikpapan – Air mata Sugito Kasirin (78) tumpah. Suaranya sesenggukan seiring air mata mengalir di wajah keriput eks tahanan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) Argosari Amburawang Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

"Ini momentum menyedihkan bagi saya sebagai pribadi," kata bekas tentara berpangkat pratu sembari membekap mukanya menahan sedih, Rabu, 17 Agustus 2016.

Sugito merupakan salah satu dari 167 eks tapol PKI yang dilokalisasi ke pembuangan Rimba Amburawang sejak 1979 silam. Kehidupannya hancur lebur. Sanak saudara dan bahkan putri kandungnya enggan mengakuinya.

Ironis, Sugito tidak tahu kesalahannya hingga dituding sebagai antek PKI. "Ketiga anak kandung saya tidak terurus. Mereka tidak berpendidikan hingga harus jadi buruh kasar. Bahkan, anak perempuan saya tidak mau mengakui keberadaan orangtuanya ini hingga kini," keluh dia.

Personel Batalyon 609 Balikpapan ini mempunyai tiga anak dari hasil perkawinan dengan istri pertamanya bernama Sriyadi, Suyono dan Warsini. Tuduhan bagian jaringan PKI memaksanya meninggalkan keluarga hingga dibuang ke Argosari.

"Tujuh tahun ditahan tanpa pengadilan hingga diasingkan di tempat ini yang dulu berupa hutan belantara," ujar Sugito.

Meski begitu, Sugito mengaku mencintai Indonesia dengan merayakan hari kemerdekaan setiap tahunnya. Penggemar seni budaya Jawa ini rutin menggelar pentas seni ludruk, ketoprak, tari jarang kepang dan wayang orang di Balai Desa Argosari.

"Pemerannya kami-kami ini, menghibur warga Argosari dengan seni budaya Jawa. Dananya berasal dari patungan masyarakat. Saya juga mengibarkan bendera merah putih bulan Agustus," tutur dia.

Tak Kibarkan Bendera

Rekannya, Aloysius Paelan (75) bernasib sama. Peristiwa hampir 50 tahun silam itu tetap lekat di benaknya. Apalagi, mereka berdua sudah dianggap meninggal oleh putra masing-masing.

Kedua mata pria lanjut bertubuh kekar langsung bercucuran air mata. Bertahun-tahun Paelan berusaha melupakan perilaku kasar kedua anaknya.

"Putra pertama akhirnya baru-baru ini mau mengakui keberadaan saya di sini. Sedangkan, anak kedua belum mau ke sini meskipun tahu bapaknya masih hidup di sini," kata Paelan.

Kondisi ini membuat Paelan enggan mengibarkan bendera merah putih selama hari kemerdekaan Indonesia. Menurut dia, negara tidak adil dalam memperlakukan eks tapol PKI yang memiliki keterbatasan hingga kini.

Dikucilkan anak hingga tak diberitahu kesalahan adalah beban yang ditanggung para eks tapol PKI. (Liputan6.com/Abelda Gunawan)

"Keluarga hancur, tidak bisa kerja sebagai pegawai pemerintah dan akses seluruhnya ditutup. Saya belum merdeka hingga kini, negara menindas warganya. Saya bahkan tidak tahu kesalahannya sehingga dituduh sebagai orang PKI," tutur Paelan.

Paelan mengakui unsur kelurahan, kecamatan hingga koramil sudah berulang kali memintanya agar mengibarkan bendera merah putih. Dia tidak menggubris permintaan tersebut.

"Silakan saja kalau mau membunuh saya, sudah tua juga," tutur pria tua yang kehilangan seluruh gigi depannya akibat penyiksaan tentara.

Saat ini, Paelan menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan keagamaan Gereja Katolik Santo Yosef di Argosari Amburawang. Bertepatan detik-detik proklamasi Indonesia dimanfaatkan dengan beribadah sembari menyanyikan berbagai lagu perjuangan Indonesia.

"Beribadah sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Kami lakukan selama hari kemerdekaan Indonesia," ucap Paelan.